BAB 22

610 29 0
                                    

Bisakah suatu saat kejujuran itu berubah menjadi hal yang tidak menyakitkan?

***

Meyla menghela nafas. Entah sudah berapa kali ia melakukannya. Rasanya sangat lelah bila sampai sekarang, perasaannya masih begitu terasa untuk Revan.

Jika mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, rasanya membuat Meyla ingin pergi dari bumi sebentar saja. Lalu kembali saat semuanya telah membaik.

Memang terkesan menghindar dari masalah. Namun, hanya saja hal tersebut setidaknya bisa membuat Meyla tenang untuk beberapa saat saja.

Hatinya sakit, saat beberapa hari yang lalu Revan begitu menjauhinya. Entahlah, Meyla tidak mengetahuinya yang sesungguhnya. Hanya saja, sikap Revan yang terlalu terkesan menghindari Meyla, membuat gadis itu merasa sedih.

Revan yang mungkin menjaga jarak dengan Meyla. Entah, Meyla hanya merasa seperti itu. Walau sejujurnya ia tidak ingin terlalu menaruh curiga kepada Revan.

Banyak keraguan dalam hati yang rasanya enggan untuk Meyla miliki. Ia benci ketika ia harus berada dalam situasi yang membuatnya harus meragu pada seseorang.

Lalu, haruskah Meyla mengatakan yang sesungguhnya?

***

"Terus gue harus gimana, Ta?"

Thalita menghela nafas. Gadis itu memasang wajah seperti berpikir serius. Sedangkan Meyla, matanya terus menatap kearah depan sambil menunggu jawaban dari Thalita.

Siang itu, keduanya berada di taman dekat kelas. Thalita yang merasa gerah berada di dalam kelas, dan Meyla juga ingin bercerita kepada Thalita mengenai Revan.

Seperti sekarang, Thalita harus berpikir keras karena Meyla yang meminta pendapatnya mengenai Revan. Gadis itu harus memikirkan cara untuk membantu temannya yang sudah seperti orang yang putus asa.

"Gimana, ya? Gue juga bingung sebenernya. Karena lo sama Revan itu kayak kurang komunikasi aja. Jadi gini deh jadinya," ucap Thalita.

"Ya gimana mau kurang komunikasi? Orang Revan juga yang menghindar dari gue. Masak gue harus ngejar dia terus?"

"Sampe segitunya ya Revan?"

Meyla menghembuskan nafasnya. Gadis itu lalu menurunkan kakinya yang tadi ia gunakan untuk duduk bersila.

"Dulu gue pikir, Revan itu beda nggak kayak cowok-cowok yang lain. Tapi ternyata, dia sama aja," ucap Meyla.

"Kalo gue rasa sih, Revan itu nggak menghindar dari lo kali. Mungkin aja cuma lo yang ngerasain," ucap Thalita.

"Gue harap gitu. Tapi nyatanya lo lihat sendiri, kan? Kemaren pas dia sengaja lewat jalan bawah waktu dia tahu gue ada diatas? Bukannya itu juga disebut menghindar?" Ucap Meyla mencoba mengingat kejadian beberapa hari yang lalu saat Revan seperti sengaja menghindari Meyla dengan memilih jalur yang berbeda saat berjalan menghampiri teman-temannya di depan kelas.

"Ya, mungkin aja dia pengen lewat bawah, kan?"

"Dan lo ingat? Keesokan harinya dia lewat bawah saat kita juga lagi duduk dibawah," lanjut Meyla

"Nah, itu berarti dia nggak menghindar dari lo, Mey!"

"Terus, kejadian yang lain gimana? Apa lo masih mau mengelak ucapan gue kalo dia menghindar?" Ucap Meyla

"Bukannya gue mengelak. Gue cuma bilang mungkin aja itu cuma perasaan lo," jelas Thalita

"Kalo menurut gue itu memang bener. Karena sejak kejadian waktu itu, dia kelihatan banget sengaja menghindar dari gue,"

Thalita menghela nafas untuk kedua kalinya. Jika Meyla sudah berkata seperti itu berarti itulah yang sedang Meyla rasakan. Dan Thalita nampaknya tidak ingin lebih jauh menyanggah ucapan Meyla.

"Apa gue jujur aja, ya, sama Revan?" Tanya Meyla.

"Lo mau jujur gimana sama Revan? Lo mau bilang ke dia kalo lo suka sama dia?" Tanya Thalita

Meyla memandang kearah dedaunan yang mulai gugur diterpa angin yang sedikit kencang siang itu. Kemudian, gadis itu menatap kakinya yanh sedari tadi ia ayunkan berulang kali.

"Gue mau tanya alasan kenapa dia selama ini menghindar dari gue, Ta. Gue pengen tahu, kenapa sikap dia bisa berubah ke gue. Gue pengen tahu, apa karena pesan gue waktu itu yang bikin dia berubah kayak gini? Atau karena apa? Gue pengen tahu, Ta," jelas Meyla

"Terus, tentang perasaan lo?" Tanya Thalita

Meyla menatap Thalita sejenak. Lalu matanya kembali menghadap kearah depan dimana banyak orang yang sedang berlalu lalang.

"Hm, gue nggak yakin. Gue takut. Tapi, gue pengen banget jujur ke dia," ucap Meyla.

"Kalo menurut gue, memang lebih baik lo jujur aja ke Revan. Biar semuanya jelas," ucap Thalita

"Gitu ya?"

Thalita mengangguk, "Gue akan selalu dukung lo, Mey!"

Sejenak, keduanya terdiam. Sesekali menatap kedua kaki mereka yang berulang kali diayunkan.

Beberapa saat kemudian, Thalita bingung ketika mendadak Meyla membalikkan badannya hingga duduk membelakangi posisi awal.

"Kenapa, sih?"

"Revan, di depan kelas!"

Thalita lantas melihat kearah depan kelas mereka. Benar saja, disana Revan sedang berdiri tepat di depan kelasnya bersama dengan teman-temannya dengan tas yang telah melekat pas dipunggungnya.

Thalita tersenyum. Lalu ikut berbalik ke posisi yang sama seperti Meyla.

"Ciee,"

"Gue nggak sadar kalo Revan ada disana," ucap Thalita sambil terkekeh yang membuat Meyla semakin kesal.

DISAPPOINTED [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang