Anehnya, semakin sering rasa sakit itu hadir, maka semakin besar aku menyayangimu.
***
Orang bilang, sabar itu ada batasnya. Mungkin hal ini juga yang sedang Meyla alami.
Setelah sekian lama ia hanya memendam perasaannya sendiri, tanpa berniat menceritakan kepada orang lain, kecuali Erin. Dan sekarang, Thalita hadir seperti mendesaknya untuk menceritakan masalahnya dengan Revan.
Mungkin ini juga adalah batas dimana Meyla hanya bisa memendam perasaannya sendiri. Ia tidak mau, hatinya akan merasakan lebih banyak sakit yang menyiksa dirinya sendiri.
"Mungkin ini adalah karma lo, Mey. Seperti gue, dulu, kita mengabaikan mereka. Tapi sekarang? Lo lihat sendiri, kan? Kita malah suka sama mereka," ucap Thalita.
"Lo bener. Dulu, gue sama sekali nggak peduli sama Revan. Bahkan saat orang-orang bilang Revan itu keren, Revan inilah, itulah, tapi gue biasa aja dan malah bilang apa sih yang mereka sukai dari Revan?" Ucap Meyla
"Tapi sekarang, gue kemakan sama omongan gue sendiri. Gue suka sama Revan, dan Revan?" Lanjutnya.
Meyla tertawa lepas bersama temannya. Membahas gosip di sekolah itu memang menyenangkan. Bahkan, Meyla lah yang paling sering tertawa dibandingkan yang lain.
"Eh, lo tahu nggak? Si Dita itu suka lho sama Revan!" Ucap teman Meyla.
"Eh, masak sih? Lo tau dari mana?" Tanya Meyla kepo
"Ye, kelihatan kali. Orang dia ngejar-ngejar Revan sampe segitunya kok," jawabnya.
"Kok bisa? Revan tahu?"
"Tahu lah. Orang si Dita blak-blakan gitu kok," ucap teman Meyla.
"Ih, apasih yang bikin dia suka sama Revan? Keren sih, tapi dia nya pendiem gitu, gue nggak suka," ucap Meyla
"Ye, namanya juga cinta,"
Meyla menghela nafas. Begitu sakit rasanya ketika mengingat kata-katanya dulu. Bagaimana ia mengatakan betapa tidak bergunannya menyukai Revan. Seorang cowok yang bahkan tidak bisa tersenyum seperti yang lainnya.
"Gue dulu juga gitu. Banyak yang suka sama Vian. Banyak yang kagum sama dia. Tapi gue? Gue malah biasa aja. Dan pada dasarnya kita sama. Sama-sama dapat karma dalam waktu yang bersamaan," ucap Thalita
Meyla menghela nafas lagi. Rasanya penyesalannya saat ini tak ada artinya. Bahkan, saat Meyla dekat dengan Revan, Meyla tidak bisa memahami sedikit dari Revan. Dan sekarang, saat semuanya telah berubah, Meyla baru menyadari bahwa ia belum sepenuhnya memahami Revan.
"Gue kadang sedih, sikap Revan itu sekarang beda ke gue," ucap Meyla.
"Beda gimana?"
"Entahlah. Yang pasti dia agak beda,"
Thalita menghela nafas, "Lo bisa suka sama Revan gimana ceritanya?"
"Jadi gini, waktu itu..."
Meyla merasa bosan. Guru yang seharusnya mengisi jam pelajaran waktu itu tak kunjung masuk. Suasana kelas yang ramai, dan udara yang cukup panas, membuat Meyla serasa ingin keluar dari kelas.
"Rin, keluar yuk? Panas, nih!" Ajak Meyla.
"Ayo,"
Meyla dan Erin lalu keluar kelas. Mereka berdua berdiri didepan pintu. Meyla disebelah kanan, dan Erin disebelah kiri.
Beberapa saat kemudian, Revan datang bersama dengan seorang temannya yang saat itu Meyla belum tahu siapa namanya.
"Eh, Revan,"
"Rin, Mey!"
"Eh, tolong panggilin Dion dong!" Ucap teman Revan kepada Meyla dan Erin. Meyla lalu berinisiatif untuk memanggil Dion, teman sekelasnya.
"Yon! Dicariin Revan!" Teriak Meyla.
Dari dalam kelas, Dion terlihat kebingungan. Namun setelah Bimo melambaikan tangan kepada Dion, cowok itu lalu keluar.
Saat Dion sedang mengobrol dengan Bimo, Revan sendiri hanya terdiam. Lalu cowok itu menatap Meyla. Meyla pun hanya tersenyum-senyum sambil sesekali tertawa entah kenapa.
"Oh iya, lo dicariin temen gue thu!" Ucap teman sekelas Meyla yang tiba-tiba saja muncul dari balik pintu.
"Siapa?"
"Noh! Orangnya ada di dalam!" Ucapnya lagi sambil berlalu masuk ke dalam kelas.
"Ciee, Revan," goda Meyla. Sedangkan Revan hanya tersenyum-senyum malu.
"Jadi itu alasan lo suka sama Revan?" Tanya Thalita
"Ya enggaklah, itu baru awalnya. Yakali gue suka cuma karena hal kayak gitu?"
"Ya mungkin aja, kan. Jadi?"
Setelah memarkirkan motornya, Meyla dan Diva, teman dekatnya sewaktu SMP, menuju ke hall SMP mereka. Suasana disana telah ramai dipenuhi para alumni satu angkatannya yang mengantre untuk cap 3 jari.
"Kiaraaaa!!!"
Meyla berlari memeluk Kiara dengan heboh. Hingga tak sengaja Meyla menyenggol meja.
"Hati-hati dong!"
"Ehehe, iya, maaf,"
Setelah selesai melepas rindu dengan Kiara, Meyla berjalan menuju meja paling pojok. Disana telah ramai teman satu kelasnya yang sudah lebih dulu mengantre untuk cap 3 jari.
Bosan menunggu, Meyla melihat kearah Revan yang sedang duduk dilantai sambil memainkan handphone bersama beberapa temannya.
"Eh, Van, lo tahu nggak? Meyla manggil lo 'Mr. Batu'!" Celetuk Diva pada Revan.
Meyla sangat merutuki Diva karena dengan santainya temannya itu mengatakan pada Revan yang sebenarnya. Meyla lalu mengarah ke Revan dimana cowok itu malah tersenyum malu karena ucapan Diva barusan.
Meyla tersenyum tidak jelas. Mencoba menyembunyikan rasa malunya karena Diva. Pada awalnya, Meyla takut Revan akan marah karena itu. Tetapi, dengan melihat raut wajah Revan yang malah tersenyum malu, setidaknya hal tersebut dapat membuat Meyla sedikit lega.
"Ohh, jadi gitu?" Ucap Thalita
"Iya. Sebelum itu gue pernah chat Revan tentang gue yang pengen manggil dia dengan nama lain. Gue sih awalnya nggak ngomong sama Revan. Eh, tapi malah waktu itu si Diva, temen gue malah bilang ke Revan," jelas Meyla.
"Dari situlah, gue mulai penasaran sama Revan," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISAPPOINTED [Completed]
Fiksi Remaja"Akan aku ceritakan bagaimana rasa sakit ini dimulai," Cover illustration from Pinterest