Prolog

1K 134 72
                                    

"Eh iya kali mas, aduuh saya tuh baru pindah kesini, setau saya betul kok nama kompleknya Parak Karakah Residen."

Elsa berdiri di teras rumahnya dengan ponsel yang masih tertempel di telinganya. Ia berkali-kali melirik ke pagar rumahnya menunggu mas-mas gojek  mengantarkan makanan pesanannya. Tapi mas-mas yang dinanti itu tak kunjung datang dengan alasan alamat yang diberikannya tak lengkap dan tak akurat, padahal Elsa sudah yakin ia memberikan alamat yang benar.

"Gini aja deh mbak--"

"Maaf ya mas, saya nih bukan mbak-mbak, baru masuk SMA nih." gerutu Elsa, tak penting sama sekali.

"Iya-iya dek, jadi coba kamu tanyain sama tetangga atau orang sekitar kamu, ini saya udah satu jam muter-muter gak nemu rumah kamu."

Raut wajah Elsa yang semula sudah masam menjadi tambah masam setelah mendengar penuturan mas-mas gojek itu, sebenarnya itu saran yang bagus, hanya saja saran itu tak cocok diberikan pada Elsa yang introvert itu.

"Gak ada orang disini," sahut Elsa.

"Masa gak ada orang? cari lagi sana dek, kurang giat kamu nyarinya."

Kurang giat, emangnya belajar. Batin Elsa.

Mau tak mau Elsa terpaksa keluar dari pagar rumahnya, ia menggigiti kuku jarinya sendiri akibat saking bingungnya mau minta tolong sama siapa, suasana komplek barunya cukup ramai namun dalam dirinya benar-benar tak ada keberanian untuk memulai percakapan dengan orang asing.

"Halo dek, gimana?"

Elsa mengabaikan mas-mas gojek yang terus-menerus memanggilnya, terdengar tak sabaran. Mungkin jengkel juga.

Sebenarnya tak ada yang sulit jika Elsa mau angkat suara dan bertanya, namun jiwa pengecutnya itu terlalu mendominasi hingga membuat Elsa bertahan berdiri didepan pagar rumahnya dengan wajah bingung sekaligus terlihat seperti hendak menangis.

"Hai, perlu bantuan?"

Elsa terperanjat kaget mendengar sapaan dari seseorang yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Cowok berpostur jangkung itu menatap Elsa dengan ramah, membuat Elsa tak hentinya berucap syukur dalam hati karena telah dikirimkan seseorang yang ganteng.

"Anu kak, bisa ngobrol sama mas gojek ini gak? saya kurang tau alamat disini."

Elsa menyerahkan ponselnya kepada si kakak ganteng nan baik hati itu, ia hanya berdiam menatap cowok ganteng itu yang sedang menjelaskan secara rinci alamat komplek rumah Elsa.

Cowok tak diketahui namanya itu kembali menyerahkan ponsel Elsa pada si pemiliknya. Cowok itu kembali memasang raut ramah dan disertai senyuman manis pada Elsa.

"Baru ya disini?"

"Iya kak."

"Oh kenalan dulu dong, gue Farel. Lo?"

Elsa menerima uluran tangan itu, ia tersenyum kikuk sambil menyebutkan namanya.

"SMP kelas berapa?" tanya si Farel.

Diam-diam Elsa mengumpat dalam hati, tak menyangka akan dianggap sebagai anak SMP. Namun ia masih berusaha tersenyum ramah pada si penolongnya itu, berusaha membuang jauh-jauh rasa  kesal karena dianggap anak SMP oleh si kakak ganteng yang ternyata bernama Farel itu.

"Kelas 10 kak."

"Eh? Sorry sorry, wajah lo imut banget soalnya, kek bocah." Farel terkekeh garing. Namun masih tetap ganteng.

Imut katanya, batin Elsa. Tanpa sadar ia malah senyum-senyum sendiri setelah dibilang imut oleh cowok ganteng.

"Oh iya, sekolah dimana Elsa?" tanya Farel lagi.

"Di SMA Bakti Kencana kak."

"Wah? Adek kelas gue dong?"

What?!

"Wah gak nyangka, ternyata dunia emang sesempit ini," ujar Farel.

"Aduuh gak nyangka ya," sahut Elsa.

Tiba-tiba seorang pengendara motor yang memakai jaket berwarna hijau berhenti tepat di depan pagar rumah Elsa.

Ah akhirnya datang juga. Batin Elsa.

"Elsa Aurora?"

Elsa mengangguk antusias, ia menghampiri si mas-mas gojek itu sambil menyerahkan uangnya. Tak lupa setelah itu ia mengucapkan terima kasih berkali-kali sebelum si mas-mas gojek itu pergi dan kembali menyisakan Elsa bersama Farel.

"Pesan apaan tuh?" Farel bertanya kepo.

"Ayam geprek, mau?" tawar Elsa, sekedar basa-basi saja.

Namun siapa sangka jika Farel meng-iyakan tawaran basa-basi Elsa.

"Eh yaudah ayo masuk kak," ujar Elsa kikuk dan juga sedikit bete.

Farel mengangguk semangat, cowok itu tampak sangat antusias saat mengikuti Elsa masuk ke dalam rumah.

"Anu... aku ambil piring dulu ya."

Farel mengangguk seraya tersenyum. Kemudian Elsa buru-buru melangkah ke dapur sambil mengumpat berkali-kali karena menyesal telah berbasa-basi pada Farel. Bukannya ia pelit, hanya saja ia merasa canggung harus berbagi makanan dengan seseorang yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu.

Tak lama kemudian Elsa kembali dari dapur membawa dua buah piring dan juga air minum. Ia memilih duduk di seberang Farel yang tampak asik memperhatikan seisi rumah Elsa.

"Aduh maaf ya jadi ngerepotin gini,"

Ngerepotin banget, batin Elsa.

"Iya santai aja, itung-itung sebagai permintaan terima kasih aku." jawab Elsa, menyembunyikan kejengkelannya pada Farel yang sudah mulai melahap ayam geprek bagiannya. Untung saja tadi Elsa membelinya cukup banyak.

"Oh iya, lo kelas apa?" tanya Farel.

"10 Mia 2 kak, kalo kakak?"

"Gue 12 Ips 1."

Elsa manggut-manggut sambil melanjutkan melahap makanannya.

"Eh by the way minumannya cuma air putih doang nih?"

"Eh, kakak mau minum apa?" tanya Elsa resah, berusaha memberikan senyuman walau sedang jengkel setengah mati menghadapi Farel yang  tak tau malu.

"Pengen jus mangga masa, ada gak?"

"Ada sih kak, mau aku buatin?"

"Mau deh, maaf ya ngerepotin hehe, dan makasih juga." Farel cengengesan.

"Selow aja kak,"

Elsa beranjak menuju dapur, kali ini ia sudah tak dapat menahan kejengkelannya lagi pada Farel yang berhasil menguji kesabarannya. Ternyata memang benar ungkapan kesabaran itu ada batasnya. Karena sekarang Elsa benar-benar sedang berada di ambang batas kesabarannya.

Tanpa sengaja sepasang matanya melirik garam halus yang seolah-olah sedang melambai meminta untuk memasukkannya ke dalam jus mangga untuk Farel, tiba-tiba Elsa tersenyum licik sambil meraih garam itu dan memasukkan garam sebanyak dua sendok ke dalam gelas yang berisi jus untuk Farel.

"Mampus lo." Elsa menyeringai.

[.]

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang