08

203 42 44
                                    

Untung saja ketika itu cuaca di luar sana sudah tak hujan lagi, meskipun tak ada tanda-tanda akan adanya matahari, setidaknya sore itu hujan sudah reda sehingga Elsa tak perlu repot memikirkan seragam sekolahnya yang baru saja kering akan kembali basah. Elsa berjalan meninggalkan rumahnya dengan kaki yang masih terasa sakit, juga sambil membawa bunga mawar yang tadi direbutnya dari tangan Ibu tirinya itu. Ia berjalan menyusuri jalanan yang masih terdapat genangan air  juga kendaraan yang senantiasa berlalu-lalang. Ekspresi wajahnya datar, tak ada tanda-tanda kesedihan di wajahnya yang putih pucat itu, namun jika mau memperhatikan, maka kesedihan itu akan sangat terlihat di sepasang mata cokelat milik Elsa. Entah sudah berapa banyak mata itu hari ini mengeluarkan air mata.

"Mawar ini milik mama." gumamnya.

Elsa melirik mawar yang mulai layu itu, demi melihat itu ia segera mempercepat langkahnya untuk menuju makam almarhumah Ibunya. Mawar itu adalah milik Ibunya, maka jika tidak Ayahnya yang memberikan langsung kepada Ibunya, maka Elsa bersedia untuk mengantarkannya ke makam Ibunya. Ini akan menjadi kali pertama Elsa mengunjungi makam Ibunya, selama ini jika diajak oleh sang Ayah, Elsa selalu menolak karena tak kuasa melihat makam Ibunya tersebut.

Tak berapa lama menyusuri jalanan yang padat oleh kendaraan, akhirnya Elsa sampai juga di Tempat Pemakaman Umum, ia duduk bersila di samping kuburan Ibunya setelah meletakkan buket bunga mawar yang hampir layu di atas kuburan Ibunya. Ia memerlukan beberapa menit untuk memandangi nisan Ibunya dengan bibir terkatup rapat, tanpa suara, dan juga tanpa air mata. Dengan gemetar, tangannya terangkat untuk mengelus nisan yang di sana tertera nama Ibunya. Ketika menyentuh nisan itu, barulah air matanya itu kembali jatuh membasahi kedua pipinya yang baru saja kering, Elsa merasa seperti sedang menyentuh Ibunya sendiri sehingga memunculkan rasa rindu yang teramat dalam, rindu yang tak akan pernah bisa diobatinya.

"Maaf ma, Elsa baru bisa jengukin mama sekarang." lirihnya.

Elsa tak kuasa menatap nisan Ibunya itu berlama-lama, ia memilih untuk menyandarkan kepalanya pada gundukan tanah di makam Ibunya. Rasanya sangat nyaman, seolah-olah ia sedang bersandar pada Ibunya bukan pada gundukan tanah. Elsa sadar jika ia sangat merindukan sosok Ibunya itu.

"Boleh Elsa nemenin mama disini? Mama pasti kesepian kan? Elsa juga kesepian ma."

Hening. Tak ada sahutan dari perkataan Elsa.

Kini tangan Elsa mulai memeluk gundukan tanah yang ada di makam Ibunya. Rasanya juga masih sama, masih nyaman dan seolah-olah seperti sedang memeluk Ibunya sendiri. Betapa Elsa sangat merindukan Ibunya.

"Mama inget? Dulu Elsa sering banget marah-marah karena dipeluk mama, Elsa selalu beralasan kalo Elsa itu udah besar jadi gaboleh dipeluk sama mama lagi." Elsa tersenyum miris, menyeka air matanya sebentar dan kemudian kembali memeluk gundukan tanah di atas kuburan Ibunya.

"Tapi sekarang, pelukan mama termasuk salah satu hal yang sangat Elsa rindukan."

Elsa memejamkan kedua matanya, membayangkan jika saat ini yang sedang dipeluknya adalah Ibunya dan bukan gundukan tanah. Rasanya menyenangkan dan juga terasa nyaman, rasanya juga seolah-olah kesedihan yang selama ini menghampiri Elsa lenyap tak bersisa, yang ada hanyalah rasa nyaman yang membuat senyuman tulus Elsa terbit, namun bersamaan dengan itu pula air mata Elsa juga tak mau kalah untuk menampakkan dirinya.

"Andai aja kalo mama masih disini bareng Elsa."

Elsa lelah. Tak hanya batinnya, fisiknya  juga. Sehingga, perlahan-lahan kedua mata Elsa itu perlahan menutup karena mengantuk akibat kelelahan.

[.]

Keesokan harinya, Elsa terbangun saat merasakan seseorang mengguncang tubuhnya. Ia mengucek-ngucek kedua matanya untuk menyesuaikan cuaca yang cerah agar ia bisa melihat dengan jelas dan juga baik. Namun, seseorang yang sedang tak ingin dilihatnya yang pertama kali Elsa lihat.

Elsa mendengus sambil membuang wajah karena sama sekali tak sudi melihat wajah saudara tirinya, yaitu Adit. Lagian kedatangan Adit tentu saja menimbulkan rasa penasaran yang tak bisa Elsa tepis. Bagaimana Adit bisa tau kalau Elsa berada dimakam Ibunya?

"Kenapa? Kok kaget gitu? Kek liat setan aja." komentar Adit.

"Iya emang! Lu setannya." balas Elsa jutek.

Namun bukannya marah atau tersinggung dengan ucapan yang Elsa ucapkan dengan nada ngajak ribut itu, Adit malah tertawa karena menurutnya Elsa itu kalau sedang marah maka akan terlihat makin cantik.

Elsa mendengus jengkel dan segera menepis tangan Adit yang sudah seenaknya mengacak-acak rambut Elsa yang sudah sejak awal sudah berantakan.

"Berani banget tidur di kuburan, apa enggak takut disamperin setan?"

Elsa tertawa remeh, "yang ada tuh setannya yang lari karena takut sama gue."

Adit tertawa, "masa sih setan takut sama cewek mungil kayak lo?"

Mendengar perkataan Adit yang menghina dirinya itu tentu saja membuat rasa benci yang sudah tertanam dalam hati Elsa makin bertambah. Jika saja Elsa punya kekuatan yang besar, sudah sejak tadi dia menonjok dan menendang kakak tirinya itu agar tidak banyak bacod.

"Diem deh lu!" ketus Elsa.

"Ayok pulang, papa nungguin lo dari kemarin. Papa khawatir banget tau."

Elsa memutar bola matanya bosan, "papa khawatir sama gue? Halah bacod! Kalo emang beneran khawatir, papa gak akan duduk santai dirumah sambil berharap nungguin gue pulang! Harusnya papa nyariin gue!"

"Anak durhaka." gumam Adit.

Elsa melotot tak terima mendengar ucapan Adit barusan, ia langsung berdiri sambil memasang kuda-kuda untuk bersiap menghajar Adit yang sudah berbicara sembarangan. Tetapi bukannya takut, Adit malah makin tertawa melihat tingkah Elsa. Tingkah lucu cewek yang diam-diam dia sayangi, dan cewek itu adalah adik tirinya sendiri yang amat sangat membeci dirinya.

Miris sekali. Pikir Adit.

"Masa lo mau nyuruh papa nyariin lo yang lagi ngambek? Gak pengertian banget sih! Papa itu lagi capek habis pulang kerja, tapi lo malah berulah dan bikin papa jadi tambah pusing, papa jadi gabisa istirahat kan."

Elsa termenung. Benar juga.

"Sekarang ayo pulang!" Adit menarik paksa tangan Elsa.

"Idih gausah pake tarik-tarik juga dong! Sakit tau!"

"Kalo gak gini, lo gabakalan nurut! Heran gue, Elsa Aurora beda banget yak sama Elsa di kartun Frozen. Lo bawel banget, coba liat ratu Elsa, kalem, cantik, adem banget dilihat." gumam Adit,  "eh tapi gue lebih suka lo sih ahahaha." lanjutnya.

"What?!" tanya Elsa.

[.]

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang