10

169 21 40
                                    

"Ayok berangkat bareng! Enggak capek apa jalan teros?"

Elsa mencibir, tak mau menerima ajakan Adit dan bergegas meninggalkan rumahnya.

Bukannya tidak capek, hanya saja Elsa tak mau berdekatan dengan kedua saudara tirinya, apalagi sampai akrab, jangan sampai. Oleh sebab itu, Elsa memilih membangun tembok besar antara dirinya dengan kedua saudara tiri yang tidak pernah dia harapkan.

Alasan lainnya, Elsa berharap bisa berangkat sekolah bersama Farel. Meskipun ia sudah tau fakta jika Farel telah memiliki seorang kekasih, tetapi jiwa pelakor dalam diri Elsa tak bisa dicegahnya, ia tetap ingin berdekatan dengan cowok yang telah membuat Elsa benar-benar jatuh hati.

"Hei! Ayok bareng!"

Tuhkan!

Elsa tersenyum semringah, tanpa perlu diajak dua kali ia sudah duduk diboncengan Farel, sudah mantap memegang ujung seragam Farel untuk menghindari jatuh dari sepeda.

"Kenapa lo gak pernah berangkat bareng Adit? Kan lebih enak naik mobil tuh, adem, gak capek, cepet nyampe pula." Farel membuka percakapan disela kegiatannya mengayuh sepeda.

"Gak ah males, dia cuma orang asing dalam hidup aku, aku gak mau deket-deket."

"Apa salahnya? Jika itu masih dalam kebaikan, kenapa harus ditolak? Kenapa lo selalu menyakiti diri lo sendiri dan berujung sedih sendiri? Apa salahnya berdamai dengan keadaan? Apa salahnya mencoba menerima? Gue lihat-lihat, mereka baik-baik kok."

"Ada pepatah yang bilang, seberat-berat mata memandang tapi lebih berat juga bahu yang memikul. Tau artinya gak kak?"

Farel menggeleng.

"Seberat apapun penderitaan yang orang lain lihat, masih lebih menderita orang yang mengalaminya." sahut Elsa.

"Aduh gue gak ngerti pepatah-pepatah gitu, maksud lo gimana ya?"

"Kita emang mudah banget ngasih nasehat ke orang, seolah-olah hal itu bukan masalah yang besar, masih bisa diatasi, diterima, diikhlaskan, tapi coba kita posisikan diri kita sebagai orang itu? Apa mungkin bisa bersikap sama kayak yang kita nasehatin itu?" Ada jeda sebentar sebelum Elsa melanjutkan kalimatnya kembali,"misalnya nih, saat mama aku meninggal misalnya, kak Farel datang menghibur aku, nenangin aku dan  bilang semuanya akan baik-baik aja, aku cuma perlu mengikhlaskan kepergian mama aku. Tapi coba kalo yang meninggal itu mama kak Farel, apa kak Farel bisa pasrah aja? Apa kak Farel bisa mengikhlaskan kepergian mama kak Farel gitu aja?"

Hening, tak ada sahutan dari Farel. Hal itu membuat Elsa kembali berbicara.

"Mungkin iya ada sebagian orang yang bisa menerima semuanya, bisa mencoba buat ikhlas, tapi itu gak bisa disamaratakan, karena apa? Ya karena tiap orang berbeda."

"Oke, kayaknya emang gue yang salah ngomong. Tapi, asal lo tau aja, gue ngomong kayak gitu bukan buat nasehatin lo, gue cuma gak mau lo sedih terus. Hei Elsa, lo pantas bahagia, apalagi dimasa sekarang, gue cuma amat menyayangkan aja, remaja seumuran lo kok bisa-bisanya menanggung beban hidup seberat itu, apa lo gak bisa hidup normal kayak remaja seumuran lo? Hmm?"

Elsa tertegun dibelakang, ia menatap kagum punggung Farel dalam diam. Lihat, bagaimana bisa ia tak jatuh cinta pada Farel?

Akhirnya mereka sampai di sekolah, Elsa yang sejak tadi tersenyum tidak jelas diboncengan Farel terpaksa menghentikan senyum manisnya untuk terbit lagi, karena apa? Itu semua karena seorang cewek, kakak kelas Elsa, cewek terkenal seantero sekolah yang dikagumi banyak orang khususnya kaum Adam karena kecantikan wajahnya.

"Heiii, udah pake sepeda lagi nih?" sapa cewek itu.

Namanya Lala. Tanpa perkenalan pun Elsa sudah mengetahui sejak dulu, namun yang menjadi pertanyaan dibenak Elsa adalah kenapa Farel dan Lala terlihat begitu akrab? Apa mungkin jika kekasih Farel itu adalah Lala?

Elsa menghela napas sedih, jika saingannya adalah Lala yang terkenal cantik, ramah, dan juga pintar itu maka Elsa sudah pasti kalah. Dia tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Lala.

"Sepedanya gak mau jauh-jauh dari aku nih, maunya deket-deket terus. Emang manja ni sepeda."

Elsa masih terdiam, jika sudah begini maka ia tak punya harapan lagi pada Farel. Menyakitkan sekali, belum memulai pertarungan sudah disuruh mundur dan dinyatakan kalah. Kurang menyedihkan apalagi?

"Apaansih ngaco amat," kekeh Lala. Cewek itu lalu melirik Elsa yang sejak tadi diam, "hei, Elsa ya?"

Elsa tergagap, namun hanya sebentar, kemudian ia mengangguk patah-patah karena saking grogi  sekaligus menahan rasa sakit di hati yang tanpa tau malu malah tiba-tiba muncul.

"Wah akhirnya ketemu juga, Farel ini sering banget tau nyeritain lo. Dia sering banget bilang kalo lo itu udah dianggapnya sebagai adik, dan ni cowok kayaknya antusias banget setelah dapat adik angkat." Lala terkekeh, ia sama sekali tak menyadari jika lawan bicaranya itu sedang bersedih.

"Tapi Elsa, kok lo mau-maunya sih dianggap adik sama cowo gak jelas ini? Mending gak usah deh, jangan mau. Taunya  cuma ngerepotin orang doang."

Gue juga gak mau woi dianggap adik! Batin Elsa.

"Kak Lala cantik banget ya, gak nyangka bisa diajak ngobrol sama kak Lala si primadona sekolah. Tapi kak, aku harus buru-buru nih soalnya ada piket kelas, bye!"

Mantap, bohong aja teros! Batin Elsa.

Elsa melirik jam dipergelangan tangan kanannya, masih ada waktu lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi. Itu berarti Elsa masih punya waktu beberapa menit untuk merenung di taman sekolah untuk menghilangkan rasa sesak yang melandanya. Kadang keadaan benar-benar begitu cepat berubah, secepat membalikkan telapak tangan. Padahal baru saja tadi ia tersipu mendengar ucapan manis dari Farel, tetapi untuk menit berikutnya ia malah dibuat sakit hati setelah bertemu kekasih  Farel.

Sebenarnya Elsa sadar, ia bukan siapa-siapa Farel, atau lebih tepatnya ia hanya dianggap sebatas adik oleh Farel. Jadi, dengan status seperti itu, bagaimana bisa Elsa boleh cemburu bahkan sampai sakit hati kepada seseorang yang berhasil memikat hati Farel?

[.]

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang