Katanya, level tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan.
Mencoba mengikhlaskan seseorang yang teramat kita cintai ternyata tak semudah yang dibayangkan. Ada begitu banyak hal yang harus dikorbankan, perasaan cinta yang sudah begitu lama bersemayam di hati, pun kenangan-kenangan indah saat bersama. Nyatanya, itu semua terlalu berharga untuk diikhlaskan begitu saja.
Melepaskan seseorang yang telah memberimu banyak hal untuk diingat memanglah sulit. Namun, jika itu yang terbaik, maka lepaskanlah. Agar kamu tau satu hal, melepaskan bukan berarti menyerah, tetapi menyadari bahwa ada hal yang tidak bisa dipaksakan.
Karena sejatinya bersama tak hanya untuk sepasang kekasih, dua orang masih bisa bersama meski tak terikat hubungan sepasang kekasih, hubungan persahabatan, atau pun kekeluargaan. Tak perlu dipaksakan bila tak bisa bersama sebagai sepasang kekasih, baiknya disyukuri saja apa pun bentuk kebersamaan itu.
Mengalami kehilangan memang bukanlah hal yang mudah. Kesedihan akan menghampiri saat orang yang kita cintai pergi dari hidup kita. Itulah yang selama ini dirasakan oleh Elsa. Di mana ia harus berjuang melawan kesedihan akibat ditinggalkan sendirian, sangat tidak mudah bahkan ia nyaris putus asa.
Elsa menyirami makam kedua orangtuanya dengan bunga-bunga yang dibawanya. Tak ada lagi air mata yang menetes tiap kali dia berkunjung ke makam kedua orangtuanya itu.
Apa ini salah satu contoh dari mengikhlaskan? Batinnya.
"Mama, Papa, gimana kabar kalian? Udah lama ya kita gak bertemu."
Selesai menaburkan bunga-bunga pada makam kedua orangtuanya, Elsa mulai mencabuti rumput-rumput halus yang mulai tumbuh pada makam kedua orangtuanya. Selain mendoakan kedua orang tuanya, hanya inilah yang bisa Elsa lakukan untuk menjadi anak yang berbakti. Ia mungkin tidak lagi bisa mengurus raga tua kedua orangtuanya yang telah tertanam di makam, namun setidaknya ia masih bisa membersihkan rumah terakhir kedua orangtuanya.
Elsa senang melakukan itu, tak ada kesedihan yang menghampiri, hanya rasa rindu yang teramat dalam yang dirasakannya saat itu. Perihal mengobati rindu yang tak kunjung mereda, Elsa hanya bisa memandangi nisan kedua orangtuanya yang selalu terawat.
Elsa bangkit berdiri, rasanya sudah cukup lama ia menghabiskan waktunya di makam kedua orangtuanya. Apalagi cuaca yang mulai mendung membuat Elsa terpaksa beranjak dari makam kedua orangtuanya.
Elsa menggenggam setangkai bunga yang sengaja tak ia taburkan pada makam kedua orangtuanya. Edelweis. Itu nama bunga yang sedang ia genggam.
Bunga Edelweis adalah bunga yang tumbuh di daerah sekitar Gunung. Filosofi bunga Edelweis ini yaitu bunga yang disebut juga abadi karena kehidupan bunga ini yang dianggap tidak pernah mati. Bunga ini hanya tumbuh dan besar di ketinggian gunung yang memungkinkan sinar matahari penuh. Bunga ini mampu hidup cukup lama maka tak heran kalau bunga ini disebut sebagai bunga abadi. Selain jthy, orang-orang sering menyebutnya dengan everlasting flower, bunga keabadian karena bunga ini tak pernah mati. Namun, bukankah di dunia ini tak ada yang abadi?
Elsa tersenyum simpul. Di dunia ini tak ada yang abadi. Ibunya meninggal, ia tak hidup selamanya. Begitu pun Ayahnya juga menyusul Ibunya ke surga. Lalu, Ibu tirinya yang berjanji tidak akan pernah meninggalkannya pun akhirnya pergi jua. Dan yang terakhir, harapan satu-satunya Elsa, seseorang yang berjanji akan memberikan kebahagiaan pada Elsa pun juga tak bisa menetap lama.
Maka dari itu, Elsa mengambil kesimpulan bahwa di dunia ini tak ada yang abadi.
Seseorang akan meninggal.
Rasa cinta dan sayang bisa pudar bahkan hilang.
Semuanya bisa datang dan pergi kapan pun namun tak ada yang menetap.Memang benar tentang pepatah yang mengatakan bahwa "Dalam kehidupan, tidak ada yang abadi, karena untuk setiap 'selamat datang', akan selalu diakhiri dengan 'selamat tinggal'" karena melepas apa yang kita sayangi dan miliki terkadang itu menjadi pilihan terbaik, sebab semua itu hanya lah titipan dan tak perlu ada yang harus dikhawatirkan.
Elsa masuk ke dalam mobil sport yang sejak tadi menunggunya di pintu masuk pemakaman. Ia tersenyum pada cowok yang duduk dibelakang stir kemudi.
"Padahal gue udah nyiapin tisu lho. Tapi kayaknya lo gak butuh lagi deh."
Elsa menampilkan deretan giginya yang rapi sebagai jawaban dari perkataan Farel. Akhirnya setelah sekian lama, Elsa tak perlu lagi menghabiskan air matanya tiap kali berkunjung ke makam kedua orangtuanya. Semuanya tidak lagi terasa menyakitkan, yang tersisa hanya rasa lapang di dada, Elsa yakin jika itu adalah perasaan penerimaan, keihklasan.
[.]
A/n:
fyi, epilog ini dibuat ditengah gerimis di malam hari (eh pagi deh) pukul 1:10 a.m.
Oh ya, thanks to kalian semua yang udah mau luangin waktu baca cerita Elsa dkk mwehe, tencu karena masih bertahan sampai akhir, tencu atas vote dan juga komentarnya yang selalu sukses to be my moodbooster❤️ emm makasih juga buat para silent reader ehe'-'bye❤️
iarikana
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweis
Fiksi RemajaKematian itu pasti. Rasa cinta dan sayang bisa pudar. Semuanya bisa datang dan pergi kapan pun namun tak ada yang menetap. Oleh sebab itu, ada pepatah yang mengatakan bahwa "Dalam kehidupan, tidak ada yang abadi, karena untuk setiap 'selamat datang'...