PRANGGGGGG!!!!
Suara pecahan kaca yang berserakan dilantai terdengar jelas di kedua telinga Elsa yang memaksanya keluar dari kamar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Ia sudah mengenakan seragam putih abu-abunya ketika sepasang mata cokelatnya menatap nanar guci yang sudah berubah wujud tak berbentuk guci lagi melainkan hanya menyisakan serpihan beling yang berserakan.
Dengan langkah gemetar dan mata yang berkaca-kaca, ia berjongkok untuk melihat lebih dekat lagi guci yang sudah pecah itu. Tanpa bisa dicegah, tetes demi tetes air mata berhasil lolos membasahi wajahnya yang putih pucat itu.
"Elsa, mama enggak sengaja. Maafin mama ya? mama janji bakal beli guci yang serupa." Seorang wanita paruh baya ikut berjongkok di samping Elsa yang sudah terisak memilukan.
Elsa menggeleng disertai isakan pilunya, "tante bukan mama saya. Guci ini enggak ada duanya."
"ELSA!"
Elsa mengabaikan seruan Ayahnya yang menatap ia dengan pandangan menegur agar menjaga ucapannya. Namun gadis itu sama sekali tak peduli dengan teguran Ayahnya dan ia segera berlari keluar rumah untuk menghindari perdebatan dengan Ayahnya karena dirinya yang masih belum mau menerima sosok pengganti almarhumah Ibunya.
Tangisan Elsa masih belum reda saat dirinya berjalan menyusuri komplek perumahannya, namun ia berhasil menahan isakan agar tak lolos dari bibirnya. Meskipun hatinya masih sakit, namun ia tetap tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang.
"Hei!"
Teguran dari seseorang yang mengayuh sepeda di sampingnya mampu membuat perhatian Elsa teralihkan. Ia menyipitkan matanya saat mengetahui siapa cowok itu, cowok yang beberapa hari yang lalu sempat ia racuni dengan memasukkan garam ke dalam minumannya.
"Masih pagi kok udah nangis?" tanya Farel.
Namun tak ada jawaban dari Elsa, ia kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
"Mau bareng gak? gratis kok! Lumayan kan naik sepeda daripada harus jalan kaki." tawar Farel.
Namun Elsa masih mengabaikan keberadaan Farel, ia masih tidak mood berbicara dengan siapa pun.
"Kenapa sih? sedih banget ya sampai-sampai mendadak jadi bisu gitu? atau pura-pura bisu? tau gak sih, katanya kalo kita pura-pura bisu ntar bisa jadi bisu beneran loh. Kehendak Tuhan enggak ada yang tau kan? Hehe,"
"Apaan sih," sahut Elsa.
Meskipun perkataan Farel terdengar konyol tapi dengan bodohnya Elsa malah percaya dan sempat khawatir jika tiba-tiba dia mendadak bisu.
"Ayok bareng! Hitung-hitung gue dapat pahala kan nebengin lo." tawar Farel lagi.
Elsa melirik sepeda yang dinaiki Farel. Ia cukup ragu untuk menerima tawaran itu, namun jika ia tak menerima tawaran baik Farel maka Elsa terpaksa harus berjalan kaki menuju sekolahnya. Soalnya Elsa tidak bisa naik angkot karena ia belum sempat meminta uang jajan pada Ayahnya.
"Gimana? lama amat mikirnya, gue cuma ngajak ke sekolah bareng lohh bukan ngajak nikah," gerutu Farel.
Sudut bibir Elsa sedikit tertarik mendengar perkataan Farel yang menurutnya lucu. Ia lalu mengangguk dan segera naik ke sepeda itu sambil berusaha agar senyumnya tak terbit apalagi sampai dilihat oleh Farel.
Farel mulai mengayuh sepedanya dengan Elsa yang berpegangan pada pundak cowok itu. Meskipun ia menjadi sedikit kewalahan karena harus membonceng Elsa yang tak bisa dikatakan ringan itu, ia tetap tersenyum, entahlah tak ada yang tau dengan pasti kenapa senyumnya terbit pagi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweis
Teen FictionKematian itu pasti. Rasa cinta dan sayang bisa pudar. Semuanya bisa datang dan pergi kapan pun namun tak ada yang menetap. Oleh sebab itu, ada pepatah yang mengatakan bahwa "Dalam kehidupan, tidak ada yang abadi, karena untuk setiap 'selamat datang'...