09

172 22 37
                                    

Elsa memilih mengunci diri di kamarnya dan tak lupa menyembunyikan wajahnya itu dengan bantal owl miliknya. Rasanya sangat memalukan karena sudah kabur tapi malah balik lagi ke rumah. Elsa mengabaikan suara ketukan pintu kamarnya karena ia tau jika di luar sana sedang berdiri Ayah dan Ibu tirinya. Elsa hanya belum siap untuk bertemu dengan Ayahnya dan juga Ibu tirinya yang nantinya pasti akan kembali menyakiti dirinya karena teringat kejadian kemarin, kejadian yang mengungkap fakta bahwa posisi Ibunya sudah tergantikan oleh Ibu tirinya di hati sang Ayah. Menyakitkan memang, tapi itulah realitanya.

Harusnya Elsa tak usah mengikuti Adit dan pulang ke rumah.

"Elsa, makan dulu nak. Mama udah siapin makanan kesukaan kamu."

"Gak ada makanan tante yang aku suka!" jawab Elsa.

Hening, tak ada sahutan juga tak lagi terdengar ketukan pintu. Elsa buru-buru bangkit dan menatap pintu kamarnya dengan tatapan kosong. Berharap jika Ayah dan Ibu tirinya memang benar-benar telah pergi.

Tapi salah, beberapa detik kemudian ketukan itu masih terdengar lagi dan membuat Elsa menghembuskan napasnya dengan kesal dan menggerutu. Dia benar-benar tidak ingin diganggu saat ini, atau lebih tepatnya ia tidak ingin diganggu oleh Ayah dan Ibu tirinya, dua orang yang selalu saja sukses menyakiti dirinya.

"Kemarin kamu kemana? Nginap dimana? Sudah makan belum?" kali ini giliran Ayahnya yang bertanya, namun Elsa tetap memilih diam.

Aneh saja rasanya, Elsa malah tak ingin lagi mendengar suara Ayahnya, seseorang yang dulu amat disayanginya itu.

Elsa memilih berjalan menuju balkon kamarnya, rasanya menyenangkan menghirup udara pagi yang masih sejuk, membuat tenang dan membuatnya melupakan segala permasalahan yang sedang di alaminya saat ini.

Jujur saja, Elsa merindukan kehidupannya yang dulu.

"Heh!"

Elsa sedikit terperanjat saat mendengar suara seseorang yang tepat berada di sampingnya, padahal sebelum ia menutup matanya untuk menghayati udara sejuk di pagi ini ia sangat yakin jika tadi ia masih sendiri, kapan coba Farel sudah ada di sampingnya?

"Hah heh hah heh, salam dulu dong." protes Elsa.

"Gue bawa makanan ni, mau gak?" Farel memamerkan makanan dalam plastik yang dibawanya.

Ayam geprek, pikir Elsa. Makanan yang dulu membawanya untuk mengenal Farel.

"Mau!!!" jawab Elsa semangat.

"Ambil piring gih," kata Farel.

Senyum yang mulai terbit dari bibir Elsa seketika lenyap tak bersisa, ia menggeleng dan memilih masuk lagi ke kamarnya, meninggalkan Farel yang hanya bisa terbengong melihat tingkah Elsa yang menurutnya aneh.

"Kenapa? Terus gimana kita makannya dong?" Farel mengikuti Elsa masuk ke dalam kamar cewek itu.

"Aku ga mau ketemu papa sama ibu tiri aku."

"Ibu tiri?" tanya Farel.

Elsa mengangguk, "iya."

Farel terdiam, ia mengamati wajah Elsa yang terlihat sedih. Sekarang ia mulai paham mengapa tiap kali bertemu Elsa pasti cewek itu sedang bersedih. Ternyata adik kelasnya ini yang sekaligus juga tetangganya itu tinggal bersama Ibu tirinya, sudah pasti kesedihan itu muncul dari Ibu tirinya.

Apa mungkin, Elsa ini Cinderella? Batin Farel ngawur.

"Ada yang sakit?" tanya Farel tiba-tiba.

"Apanya?" Elsa malah balik bertanya.

"Itulohh, ibu tiri lo, apa pernah mukul lo misalnya?"

Sepertinya, Farel benar-benar korban kartun Cinderella.

"Ada, disini yang sakit." Elsa menunjuk dadanya.

"Seriusan? Mana? Sini gue liat, parah gak?"

"Woi!! Apaan sih ih! Maksudnya hati akuu, bukan dada beneran woiii." greget Elsa.

Farel malah terkekeh malu karena sudah salah mengartikan maksud perkataan Elsa.

"Kenapa bisa sakit? Apa nyokap tiri lo sering ngelontarin kata-kata kasar yang nyakitin lo?"

Elsa menggeleng, ia berpikir sejenak, mana pernah Ibu tirinya itu berkata kasar padanya, yang ada malah sebaliknya. Namun, memang benar Elsa yang selalu bersikap kasar dan tidak sopan serta menyakiti Ibu tirinya dengan berbagai macam ucapan, tapi kenapa disini selalu Elsa yang merasa sakit hati?

"Enggak pernah, malah aku yang sering nyari gara-gara, aku gak pengen kehadiran mereka di hidup aku."

"Mereka?" tanya Farel.

Elsa mengangguk, "iya, ibu tiri dan saudara tiri aku." jawabnya.

"Emang kenapa?"

"Ya karena mereka orang asing, aku gabisa nerima gitu aja."

"Kenapa gak mau nerima? Apa mereka orang jahat? Apa lo takut malah jadi kek Cinderella?"

Elsa menggeleng, ia bukan cewek lemah, ia sangat anti ditindas, ia tidak takut. Hanya saja, Elsa tidak ingin kebahagiannya juga dirasakan oleh orang lain, ia tidak ingin berbagi kasih sayang, ia juga bukan termasuk orang yang mudah menerima orang baru. Itulah alasan kenapa ia tidak menyukai Ibu tiri dan saudara tirinya, ia tidak ingin Ayahnya membagi kasih sayang untuk dirinya, dan lihat apa yang terjadi? Ketakutannya itu menjadi kenyataan.

Padahal, Ayahnya itu adalah satu-satunya harapan Elsa, tetapi Ayahnya juga mulai perlahan meninggalkan Elsa. Apa tidak cukup Ibunya saja yang pergi?

"Kak Farel." panggil Elsa setelah lama terdiam.

"Hmm?"

"Aku pengen bahagia lagi, kek dulu."

"Sini gue bahagiain." jawab Farel, spontan.

"Benaran?" tanya Elsa yang dijawab anggukan mantap dari Farel.

Elsa tersenyum, terpaksa tepatnya. Bagaimana bisa ia menggantungkan harapan kebahagiaan pada cowok yang sudah memiliki kekasih? Dan terlebih lagi cowok itu hanya menganggapnya sebatas adik, tidak lebih. Menyakitkan memang, untuk bisa bahagia saja saat ini Elsa tak mendapatkannya.

Apa hidup memang sebercanda ini?

"Kok sedih?" tanya Farel.

"Kak Farel gak liat ya? Aku senyum loh ini." jawab Elsa sambil melebarkan senyumannya.

Farel ikut tersenyum, ia tak dapat menahan tangannya untuk mengacak-acak rambut Elsa.

"Lo emang lagi senyum, tapi kedua mata lo itu gak bisa bohong kalo lo itu lagi sedih sayang."

Elsa terperanjat, tersipu juga. Sayang?

[.]

Dahlah, capek otak mikir woiii😭😭😭

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang