Suasana pasar malam yang dikunjungi Elsa malam itu mampu mengusir segala rasa suntuk yang awalnya melanda gadis itu. Akhirnya rencana pergi ke pasar malam tidak lagi wacana antara dirinya dengan Farel. Dari dulu Farel selalu menjanjikan akan mengajak Elsa ke pasar malam namun ada saja hambatan yang akhirnya membuat mereka batal ke pasar malam.
Malam minggu memang waktu yang tepat untuk berkunjung ke pasar malam karena ada begitu banyak pengunjung yang meramaikan suasana. Elsa bergandengan tangan dengan Farel sembari menyusuri pasar malam dan tangannya yang satu lagi memegang gulali yang selama berjalan bersama Farel selalu dimakan oleh Elsa.
"Ini kan malam minggu, apa kak Farel gak kencan sama kak Lala?"
Farel terkekeh. Sebenarnya hari ini memang jadwalnya kencan bersama Lala, namun cowok itu rela membatalkan rutinitasnya itu dengan Lala hanya karena ingin mengajak Elsa ke pasar malam.
Farel mencubit hidung Elsa dengan gemas, ia mensejajarkan tubuh mereka agar bisa menatap wajah Elsa lebih dekat.
"Udah deh, malam ini pokoknya hanya ada gue dan lo. Enggak ada Lala, nggak ada orang lain. Pokoknya malam ini quality time kita oke"?"Elsa mengangguk antusias. Ia merasa senang sekali.
"Kak Farel!! Mau naik itu!!" Elsa menunjuk antusias bianglala yang sedang berputar di kejauhan.
"Ayoo!!"
Mereka berdua sudah duduk manis di dalam bianglala. Karena posisi mereka yang bersebelahan itulah yang membuat Elsa memberanikan dirinya menyenderkan kepala di pundak Farel. Dan Farel pun sepertinya tidak keberatan dengan tindakan Elsa, ia malah menggunakan satu tangannya untuk mengusap-usap rambut Elsa.
Dalam diam Elsa berpikir, kira-kira sampai kapan mimpi ini akan berlangsung? Ia tau ini hanya sementara, Elsa tidak bisa terus-menerus berada di situasi ini bersama Farel, ia tidak bisa mengabaikan sosok Lala begitu saja.
Intinya, Elsa tidak ingin menjadi pelakor, walaupun dalam dirinya jiwa pelakor sedang membara, meronta-ronta untuk merebut Farel dari Lala.
Gulali di tangan Elsa sudah habis. Ia mengalihkan pandangannya ke bawah sana yang dipenuhi oleh cahaya lampu. Cantik sekali pemandangan di bawah sana. Tetapi, itu semua akan kalah ketika Elsa menatap sosok Farel di sampingnya yang tengah memejamkan kedua matanya. Pemandangan di sampingnya jauh lebih indah, jauh lebih menarik, membuat jantung Elsa tak berhenti berdebar kencang ketika menatap wajah Farel.
"Apa? Gue ganteng banget ya?"
Elsa terkekeh, kedua pipinya merona, untung saja malam hari.
"Yah ketahuan." ujar Elsa.Farel menggenggam tangan Elsa, mencoba menyalurkan kehangatan pada tangan mungil yang rapuh itu. Cowok itu frustasi. Perasaannya kacau. Hatinya terbagi dua, setengahnya untuk Lala dan setengahnya lagi untuk Elsa.
"Kenapa kak?" tanya Elsa.
Farel menggeleng, ia tersenyum kecut. Apa boleh egois untuk kali ini saja? Apa boleh ia menjadi cowok yang serakah? Ia tak bisa memilih. Lala adalah kekasih yang sudah bertahun-tahun mengisi hari-harinya, sementara Elsa adalah adik kelas yang membuat Farel tak pernah bosan berada di samping cewek itu. Apa boleh ia memiliki keduanya? Apa ia boleh untuk tidak memilih salah satu di antara mereka? Ia menginginkan keduanya. Batin Farel.
"Kenapa sih kak Farel? Ada yang salah ya?"
Farel menggeleng, ia mengusap rambut Elsa.
"Jangan sampe sedih lagi, ada gue di sisi lo. Baik-baik ya adik kecil?"Elsa tertegun. Adik kecil. Kembali lagi ia mendengar kalimat yang paling ia benci ketika diucapkan oleh Farel.
Elsa menunduk, ia melepaskan tangannya yang sejak tadi berada di genggaman tangan Farel. Rasanya terlalu menyakitkan jika Farel selalu hanya menganggapnya sebatas seorang adik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweis
Teen FictionKematian itu pasti. Rasa cinta dan sayang bisa pudar. Semuanya bisa datang dan pergi kapan pun namun tak ada yang menetap. Oleh sebab itu, ada pepatah yang mengatakan bahwa "Dalam kehidupan, tidak ada yang abadi, karena untuk setiap 'selamat datang'...