Suasana sepi di taman belakang semakin membuat perasaan Elsa bertambah tak karuan, perasaan sedih, bingung, kesal, dan sakit hati bercampur menjadi satu. Sekarang Elsa paham, ternyata begini rasanya mencintai seseorang yang mencintai orang lain, sakit memang, tetapi ia juga tak mudah untuk melupakan Farel.
"Butuh tisu gak?"
Elsa menoleh ke samping, ia menatap datar cowok yang sedang menawarkan tisu padanya.
"Gue gak nangis ya!"
"Emm.. Mungkin buat ingus lo."
Elsa mendengus jengkel, ia segera mengambil tisu yang diberikan Adit lalu bergegas hendak pergi karena tidak ingin berdekatan dengan saudara tirinya itu.
"Oi! Mau kemana?"
Elsa mengabaikan panggilan Adit. Ia terus berjalan menjauh sampai akhirnya perkataan Adit berikutnya yang berhasil menghentikan langkah kaki Elsa.
"Tas lo ketinggalan nih."
Elsa merutuk kesal, dan juga malu. Ia terpaksa kembali ke bangku tempat ia duduk sebelumnya tanpa mau membalas tatapan Adit yang sejak tadi memperhatikannya disertai senyuman mengejek.
"Buru-buru amat sih, duduk dulu sini. Tenangin dulu tuh hati, apa gak lelah dipaksa baik-baik aja? Hmm?"
Mau tak mau akhirnya Elsa kembali duduk di samping Adit. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, hendak menangis tetapi berusaha ditahannya karena merasa malu jika harus menangis dihadapan Adit.
"Cewenya cantik banget." gumam Elsa.
"Lala?"
Elsa mengangguk, masih setia menutupi wajahnya. Untuk saat ini ia berusaha mengabaikan status diantara mereka. Elsa lelah, ia tak tau lagi harus bercerita kepada siapa, maka dengan adanya Adit di sini cukup membantu Elsa untuk mengungkapkan segala isi hatinya.
"Jadi gini rasanya mencintai tapi bertepuk sebelah tangan."
"Emang gimana rasanya?" tanya Adit.
"Susah dijelasin, cuma bisa dirasain. Lo gak akan bisa ngerasain sakitnya."
Adit hanya tersenyum samar. Tentu saja ia bisa mengerti apa yang sedang dirasakan oleh Elsa. Bahkan, sepertinya kisah cinta Adit lebih menyakitkan daripada Elsa yang cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.
Adit mendekati adik tirinya itu, ia dengan ragu-ragu mengelus rambut Elsa.
"Semoga cepat sembuh hatinya, adik kecil."
Elsa yang mendapat elusan dan perkataan demikian dari Adit sempat tertegun untuk beberapa saat. Ia mencoba memberanikan diri menatap Adit yang kala itu sedang tersenyum padanya dengan tangan yang masih berada di atas kepala Elsa.
"Gue bukan adik lo." gumam Elsa.
"Iyaiya, masuk kelas gih. Gue anterin deh."
Elsa mencibir namun tidak menolak tawaran Adit yang ingin mengantarnya ke kelas. Sebelum mereka meninggalkan taman itu Elsa sempat menoleh ke Adit sambil menyerahkan ranselnya pada cowok itu.
"Sekalian bawain dong!"
Adit tak menolak, ia membawa ransel Elsa sambil berjalan menuju kelas Elsa beriringan.
Adalah satu kemajuan antara hubungan mereka, yang awalnya Elsa paling anti berdekatan dan berinteraksi dengan Adit, tetapi sekarang cewek itu sudah mulai mau menerima kehadiran Adit. Sebenarnya Adit juga tak berharap lebih, sudah dianggap ada oleh Elsa saja ia sudah sangat bersyukur.
"Lo kelas apa btw?"
"12 IPA 1."
Elsa manggut-manggut, "pinter dong? Pan kapan kerjain peer gue ya."
Adit menyentil kening Elsa. Lama-kelamaan Elsa malah bersikap kurang ajar padanya. Untung suka.
"Koreksi dulu tuh ucapan lo, minta ajarin, bukan minta kerjain peer."
Elsa mengusap keningnya, cukup sakit sebenarnya sentilan Adit. Jika saja saat itu mereka sedang tidak berada di koridor mungkin sudah sejak tadi Elsa mengajak Adit baku hantam.
"Tuh kacamata benerin!" balas Elsa.
"Udah bener tau! Udah bisa liat kejelekan lo."
Elsa mendengus lagi, benar-benar menjengkelkan punya saudara tiri cowok.
"Bodo amat." ujar Elsa.
"Pinter amat." sahut Adit.
Elsa mendengus lagi, benar-benar tak menyangka jika Adit mempunyai sifat semenyebalkan itu.
Elsa memilih diam dan tak mau lagi beradu argumen dengan Adit karena ia tau hal itu nantinya pasti hanya akan menyulut emosinya. Setengah perjalanan Elsa memilih diam sambil memperhatikan sekitarnya, dan ia baru sadar jika daritadi ada banyak sekali siswi yang menatap kearah mereka berdua. Jika ia tak salah tafsir, tatapan itu mirip sekali seperti tatapan orang-orang iri.
Tapi kenapa?
Apanya yang harus di-iri-kan dari diri Elsa?
Atau?
Elsa melirik Adit yang sejak tadi memasang wajah kalem. Diam-diam ia mendengus lagi. Tampangnya sungguh menipu. Cowok semenyebalkan Adit kok bisa-bisanya punya tampang polos ketika sedang diam.
"Apaan?" tanya Adit.
"Lo ngerasa gak sih kalo daritadi kita diliatin?"
Adit mengangguk kalem.
"Fans gue semua itu."
Elsa memasang wajah ingin muntah mendengar omongan Adit. Tetapi ia tidak menyangkalnya, karena tipe-tipe cowok seperti Adit ini memang termasuk idola di sekolah. Wajar aja sih.
"Mereka ngeliatin gue kek mau makan gue aja!"
"Mampus." sahut Adit.
Elsa berdecak sebal, ia segera mengambil ranselnya yang sejak tadi berada di tangan Adit karena saat itu mereka sudah sampai di depan kelasnya Elsa.
"Emm makasih ya udah mau nganterin gue, tapi inget ya ini karena lo yang maksa dan bukan kemauan gue!"
Adit memutar bola matanya malas, gemes banget minta dipacarin nih bocah, pikir cowok itu.
"Yayayayayaya."
"Yaudah buruan sana pergi! Hus hus hus." usir Elsa.
"Gue bukan kucing ya!"
Elsa terkekeh, untuk pertama kalinya ia bisa tertawa dihadapan Adit yang dulunya tidak pernah ia inginkan kehadirannya. Kemudian Elsa berjinjit hanya untuk menepuk-nepuk puncak kepala Adit dengan gemas.
"Belajar yang rajin! Biar minus lo gak sia-sia."
Setelah berkata demikian, Elsa segera masuk ke dalam kelas meninggalkan Adit yang hanya bisa terdiam menerima perlakuan manis dari Elsa barusan.
Adit tersenyum sambil mengusap rambutnya, "astagfirullah jantung gue!"
Sementara itu di dalam kelas Elsa sudah duduk di kursinya, ia menatap tangan kanannya, tangan yang ia gunakan untuk menepuk kepala Adit tadi.
"Gue tadi ngapain ya?"
[.]
Tau ah males ngebacod.-.

KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweis
Teen FictionKematian itu pasti. Rasa cinta dan sayang bisa pudar. Semuanya bisa datang dan pergi kapan pun namun tak ada yang menetap. Oleh sebab itu, ada pepatah yang mengatakan bahwa "Dalam kehidupan, tidak ada yang abadi, karena untuk setiap 'selamat datang'...