Hujan masih turun dengan lebatnya ketika Elsa sampai di rumah, pakaiannya sudah basah kuyup karena nekat menembus hujan dengan berjalan kaki. Suasana hatinya sedang buruk kala itu saat mengetahui ternyata Farel sudah memiliki kekasih, namun tampaknya suasana hati Elsa akan segera membaik kala dia melihat mobil Ayahnya yang sudah terparkir didepan rumah, berarti Ayahnya itu sudah pulang dari dinas keluar kota. Elsa mempercepat langkahnya, ia mengabaikan lantai rumah yang kotor akibat tetesan air dari tubuhnya yang basah. Senyuman yang baru mulai akan terkembang di bibir mungil Elsa seketika lenyap sudah saat ia menyaksikan pemandangan di ruang keluarga rumahnya.
"Wah makasih pa oleh-olehnya, Rayya suka banget."
Elsa hanya mampu diam dengan bibir terkatup rapat menyaksikan Ayahnya yang tampak bahagia bersama Ibu tiri dan saudara tirinya.
"Papa masih bisa bahagia tanpa Aku." Batin Elsa.
Elsa memilih keluar rumah daripada menghampiri Ayahnya, ia menahan rasa rindu pada sosok Ayahnya dan memilih pergi karena tidak ingin merusak kebahagiaan Ayahnya, sebab jika Elsa menghampiri Ayahnya saat itu dengan suasana hati yang buruk pasti ia akan memulai mencari masalah, baik itu dengan Ibu tirinya atau dengan kedua saudara tirinya itu.
Di luar hujan masih tak mau berhenti membasahi seluruh permukaan bumi, Elsa berjalan tak tentu arah dengan pandangan yang tertuju pada sepasang sepatunya. Sepasang sepatu favoritnya yang diberikan oleh orang tersayang, yaitu Ayahnya.
Elsa tersenyum miris kala ingatan masa lalu bersama kedua orangtuanya itu muncul, ingatan saat semuanya masih berkumpul bersama, harusnya itu kenangan yang indah, namun entah kenapa malah membuat sesak di dada Elsa kala mengingat ingatan itu.
Saat tiba di taman kompleks, Elsa memilih mengistirahatkan dirinya disebuah bangku taman yang sudah basah tersiram air hujan. Ia duduk di sana sendirian, ditemani sepi dan hujan yang tak kunjung reda. Sepasang mata cokelatnya tak pernah lepas memperhatikan sepatunya yang sudah kotor terkena genangan air. Setidaknya, untuk hujan yang turun kali ini ia bersyukur karena bisa menyamarkan air matanya yang turun bersamaan dengan air hujan.
"Pa, mama udah ninggalin Elsa, papa jangan ninggalin Elsa juga dong." lirihnya, terdengar pilu.
Getaran disaku roknya menyadarkan Elsa dari lamunannya, ia mengeluarkan ponselnya yang sudah basah itu, Elsa hanya mampu menatap nanar pada ponselnya yang menampilkan panggilan dari sang Ayahnya. Ada rasa sangat ingin menjawab telepon itu dari dirinya, namun ketika mengingat kejadian di ruang tengah rumahnya tadi membuat Elsa urung menjawab telepon Ayahnya dan membiarkan ponsel itu tetap berdering. Elsa memilih memasukkan ponselnya itu ke dalam tasnya dan mengabaikan panggilan dari Ayahnya.
"Elsa kangen papa yang dulu." lirihnya.
Di tengah kesedihannya itu, Elsa dikejutkan dengan sepasang sepatu milik seseorang yang tiba-tiba sudah ada dihadapan sepasang sepatu miliknya. Ia mendongak untuk melihat siapa orang tersebut, ketika sepasang matanya beradu pandang dengan sepasang mata gelap nan indah itu, Elsa hanya bisa bungkam dengan pandangan yang tak bisa ia alihkan pada sepasang mata indah itu.
Mata indah itu, milik seseorang yang entah kebetulan apa bagaimana selalu saja hadir disaat ia sedang merasa sedih.
"Jadi ini yang katanya mau kerja kelompok? Kerja kelompok sama hujan ya? Emm pasti membahas berapa banyak butiran air hujan itu yang jatuh ke permukaan bumi?"
Elsa mengabaikan ucapan sarkastik yang dilontarkan Farel. Ia kembali menunduk demi menghindari sepasang mata yang entah kenapa ketika Elsa menatapnya malah membuat jantungnya di dalam sana berdebar lebih kencang.
"Kayaknya ratu Elsa sedang sedih ya, kenapa? Apa kekuatan yang dimiliki ratu Elsa udah menghilang? Kekuatan yang bisa membekukan apapun itu udah hilang ya, ratu?"
Elsa mendengus, bisa-bisanya dia tersenyum geli setelah mendengar perkataan aneh yang dilontarkan Farel, padahal sekarang kan Elsa sedang bersedih.
"Mmm apa selain kehilangan kekuatannya, ratu Elsa juga kehilangan suara?"
Farel tiba-tiba berjongkok dihadapan Elsa untuk melihat wajah Elsa yang sejak tadi menunduk, walaupun wajah Elsa sudah basah terkena air hujan, tetapi Farel tau persis jika saat itu Elsa sedang menangis karena sepasang mata cokelat itu tak bisa berbohong, kesedihan begitu kentara disana, apalagi mata Elsa yang memerah itu saja sudah cukup buat Farel menyimpulkan jika tetangga sekaligus adik kelasnya ini pastilah sedang menangis.
"Ngomong dong." ujar Farel.
Elsa menghela napas, ia bingung harus berbicara apa, Farel daritadi terlalu banyak berbicara. Lagian Elsa juga sedang tidak mood berbicara dengan Farel, apalagi ketika mengingat kembali fakta bahwa Farel ternyata telah memiliki seorang kekasih, fakta yang entah kenapa membuat Elsa menjadi sedih.
You love him. bisik batinnya.
Elsa menggeleng, mencoba mengenyahkan asumsi tidak masuk akal itu. Ia lamat-lamat memperhatikan Farel yang masih dalam posisi berjongkok dihadapannya. Memang ia akui jika Farel itu memiliki wajah sempurna, tetapi tidak mungkin hatinya bisa secepat itu jatuh pada pesona seorang Farel.
Bisa jadi, apa lo gak pernah dengar istilah love at the first sight?. batinnya kembali bersuara.
"Enggak!" gumam Elsa tanpa sadar.
"Enggak apanya Elsa?" tanya Farel bingung.
"Ehh, ummm, ituuu.. Kak Farel apa enggak capek jongkok terus kayak kodok?" sahut Elsa gugup dan juga salah tingkah.
Farel terkekeh geli dengan pandangan yang tak lepas dari wajah Elsa, cowok itu akhirnya berdiri dan memilih duduk di samping Elsa yang jelas sekali sedang salah tingkah, meskipun Farel tidak mengetahui apa penyabab gadis disebelahnya ini yang awalnya sedang bersedih malah mendadak salah tingkah, tetapi dia menikmati tingkah polos Elsa yang selalu saja mampu menghadirkan senyuman dalam dirinya.
"Nih gue udah enggak jongkok kayak kodok lagi." kekeh Farel.
"Kak Farel ngapain hujan-hujanan disini?" tanya Elsa.
"Lah, lo sendiri ngapain hujan-hujanan disini?" Farel bertanya balik.
Elsa mencibir, bukannya menjawab pertanyaannya tetapi Farel malah balik bertanya dengan pertanyaan yang sama persis dengan pertanyaannya, sama sekali tidak kreatif.
"Aku lagi pengen hujan-hujanan aja." jawab Elsa.
"Gue lagi pengen nemenin lo hujan-hujanan aja." sahut Farel.
"Aku gak butuh ditemenin."
"Tapi gue tetap mau nemenin." kekeuh Farel.
"Kenapa?" tanya Elsa, ia memberanikan menatap sepasang mata Farel yang selalu membuatnya terpesona, mata itu sangat indah.
Farel tersenyum kala itu, dan Elsa bersumpah jika itu adalah senyuman termanis yang pernah Elsa lihat dari diri seorang Farel. Senyuman itu, tanpa sepengetahuan Farel telah mampu membuat jantung Elsa kembali bergemuruh didalam sana.
"Gue gak tega aja ngeliat adik kecil gue sendirian dalam suasana hati yang sedang sedih." ungkap Farel disertai tangannya yang menepuk puncak kepala Elsa.
Bukannya senang atau terharu, Elsa sadar jika ia tidak ingin dianggap adik oleh Farel.
[.]
Alhamdulillah selesai ngetik😐
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweis
Teen FictionKematian itu pasti. Rasa cinta dan sayang bisa pudar. Semuanya bisa datang dan pergi kapan pun namun tak ada yang menetap. Oleh sebab itu, ada pepatah yang mengatakan bahwa "Dalam kehidupan, tidak ada yang abadi, karena untuk setiap 'selamat datang'...