Elsa menahan rasa sesak di dadanya tatkala melihat kepergian Ayahnya. Rasanya ia ingin berlari ke dalam mobil yang sudah melaju meninggalkan pekarangan rumahnya namun saat itu yang ia lakukan hanyalah berdiri dengan wajah datar mengiringi kepergian Ayahnya keluar kota untuk urusan pekerjaan. Ia menghela napas kasar saat mengingat bahwa beberapa hari kedepan ia harus tinggal satu atap bersama ketiga orang asing yang nyatanya adalah keluarga barunya tanpa sang Ayah.
"Semoga gue gak bernasib sama kayak Cinderella." Batin Elsa.
"Ayok sarapan dulu sebelum kalian sekolah," ujar sang Ibu tiri Elsa.
Elsa memasuki rumahnya namun bukan untuk mengikuti sarapan bersama tapi untuk mengambil tas sekolahnya. Elsa lebih memilih kelaparan daripada harus makan bersama orang-orang yang masih dianggapnya asing tersebut.
"Enggak makan dulu Elsa?" tegur Ibu tirinya.
"Gak."
Ibu tirinya beranjak menghampiri Elsa yang sudah siap-siap untuk pergi, "yaudah kamu bawa bekal ya. Ini udah mama siapin."
Elsa menatap datar kotak makanan berwarna pink yang disodorkan, ia ingin mengambilnya namun rasa gengsi dalam hatinya menyuruhnya untuk tak usah menerima kebaikan Ibu tirinya yang belum tentu tulus itu.
"Gak perlu," itulah jawaban Elsa sebelum keluar rumah.
Elsa melirik rumah di samping rumahnya yang terlihat sepi, ia berpikir mungkin Farel sudah lebih dulu berangkat ke sekolah.
"Ih dasar, coba aja si tante gak sok nawarin bekal segala pasti gue bisa ketemu kak Farel."
Begitulah jika sudah tak suka dengan seseorang, apapun kondisinya pasti akan selalu menyalahkan orang tersebut.
Di tengah perjalanan solonya Elsa dikagetkan oleh sebuah klakson dari mobil yang cukup familiar, ia berhenti melangkah sambil menatap datar wajah seseorang yang muncul dibalik kaca mobil yang baru saja diturunkan.
"Ayok Elsa bareng aja! Lagian tujuan kita kan sama." ajak Rayya, saudara tiri yang tak pernah Elsa harapkan.
"Gak perlu." Setelah berkata demikian Elsa kembali melanjutkan langkahnya tanpa perlu repot-repot mengindahkan panggilan Rayya.
Entah langkah ke berapa, Elsa tak tau pasti namun yang disadarinya adalah ketika tangan seseorang menahan lengannya agar berbalik. Elsa menggerutu, mau ke sekolah saja banyak sekali gangguan, pikir gadis itu.
"Ayok bareng."
Kali ini bukan Rayya melainkan Adit. Cowok itu balas menatap Elsa dengan tatapan datarnya dibalik kacamatanya itu.
"Gue udah bilang enggak kan? gak usah maksa deh." gerutu Elsa.
Tapi Adit tak mendengarkan Elsa, ia malah dengan santainya menarik Elsa menuju mobilnya. Tentu saja Elsa tak tinggal diam, namun tenaganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan tenaga Adit dan alhasil sekarang Elsa sudah duduk di dalam mobil Adit dengan wajah memerah karena kesal.
"Dari mama, dimakan! kalo enggak gue bakal bilang ke papa kalo semalam lo kabur." ancam Adit saat meletakkan kotak bekal di atas pangkuan Elsa.
Elsa mendengus, namun ia tak berkutik. Tentu saja gadis itu takut dengan ancaman yang dilontarkan Adit barusan. Saat ia hendak memindahkan kotak makan itu dari pangkuannya tiba-tiba hal memalukan terjadi yang membuat wajah putih pucat Elsa memerah karena malu.
Perutnya berbunyi, yang mengundang tawa dari Adit dan Rayya.
"Makan aja Elsa, gak baik tau nyiksa perut sendiri," kata Rayya sambil terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweis
Teen FictionKematian itu pasti. Rasa cinta dan sayang bisa pudar. Semuanya bisa datang dan pergi kapan pun namun tak ada yang menetap. Oleh sebab itu, ada pepatah yang mengatakan bahwa "Dalam kehidupan, tidak ada yang abadi, karena untuk setiap 'selamat datang'...