20

128 18 6
                                    

Elsa menuruni undakan tangga untuk menuju meja makan yang di sana sudah ada Ibu dan saudara tirinya. Elsa menghela napas sebelumnya, lalu membuang jauh-jauh rasa sedih yang kembali menyeruak saat melihat kursi tempat Ayahnya duduk sudah kosong. Tidak ada lagi Ayahnya yang mengisi kursi tersebut.

"Kamu mau sarapan apa Elsa? Nasi goreng? Roti lapis? Atau bubur ayam?" tanya Ibu tirinya.

Elsa mengamati satu persatu makanan yang tersedia di meja makan. Ia perlahan duduk di kursi tepat di samping Adit.

"Roti aja ma." jawab Elsa pendek.

Adit yang waktu itu sedang mengunyah nasi gorengnya langsung terbatuk mendengar perkataan Elsa. Tak hanya Adit, Rayya pun sama, gadis itu sampai melupakan air putih yang dituangkannya pada gelas hingga gelas itu penuh dan membasahi meja makan.

Adit dan Rayya kaget. Mereka sama sekali tidak menyangka jika akhirnya Elsa memanggil Ibu mereka dengan sebutan "ma", padahal panggilan itu bukan yang pertama kali Elsa sebutkan. Mungkin hanya Adit dan Rayya yang terlalu lebay.

Setelah meredakan batuknya, Adit menatap Elsa sambil menyengir bahagia.
"Seriusan nih?  Gue gak salah dengar kan? Barusan lo manggil "ma" kan? Bukan tante lagi?"

Elsa memutar bola matanya, ia mengunyah roti lapisnya tanpa perlu repot-repot menjawab pertanyaan Adit yang sudah jelas terjawab tadi.

Ibu tirinya berjalan mendekati Elsa, beliau mengusap-usap pundak Elsa dengan tatapan keibuan. Hal tersebut tentu saja membuat Elsa berhenti mengunyah roti lapisnya dan memilih fokus menatap Ibu tirinya itu.

"Kita hadapi semua sama-sama ya nak? Kita ini keluarga, suka dan duka kita lalui bersama. Jangan ada yang dipendam, jangan ada yang ditutupi. Sedih sama-sama sedih, begitu pun bahagia sama-sama bahagia."

Elsa mengangguk sambil membalas perkataan Ibu tirinya dengan senyuman. Elsa akan mencoba menerima keluarga barunya itu, karena sekarang di dunia ini hanya mereka yang Elsa punya. Ia juga akan berusaha menghapus semua kesedihannya, ia akan berbahagia, ia akan memulai hidup barunya tanpa harus ditemani oleh kesedihan lagi.

Setelah menyelesaikan sarapannya, Elsa pamit kepada Ibu tirinya dan berangkat ke sekolah bersama dengan saudara tirinya. Di dalam mobil, Elsa hanya diam mendengarkan ocehan Adit dan Rayya yang berusaha menarik fokus Elsa agar Elsa tidak melamun dan berujung bersedih memikirkan kematian Ayahnya.

"Elsa, lo udah ikut eskul apa di sekolah? Mau ikut eskul  cheerleader gak bareng gue? Lo kan cantik tuh, terus tubuh lo juga oke, pasti keterima deh." ajak Rayya.

"Apaan sih eskul gaje itumah, apa faedahnya coba teriak-teriak tengah lapangan sambil nari-nari? Jangan sa, jangan terima ajakan Rayya." protes Adit.

Elsa hanya diam memperhatikan perdebata antara Rayya dan Adit. Ia sama sekali tak ada niatan untuk melerai perdebatan itu, ia malah asik menatap jalanan yang padat di pagi hari itu. Semua orang memulai aktivitasnya, ada yang berangkat sekolah, berangkat kerja, mulai membuka lapak jualan, menyapu jalanan, dan ada juga pengamen yang mulai menyanyi di setiap lampu merah.

Beberapa menit kemudian Elsa sampai di sekolahnya. Bukannya menuju kelas, Elsa malah berbelok ke tangga menuju rooftop sekolahnya. Elsa butuh ketenangan, ia perlu menyendiri untuk sementara waktu. Ia perlu memikirkan berbagai hal yang telah dilaluinya selama ini. Elsa ingin mengintrospeksi dirinya, ia ingin merubah kesalahan-kesalahan di masa lalu agar tidak terulang kembali.

Sejujurnya, Elsa lelah selalu berteman kesedihan. Meskipun Ibu tirinya telah mengatakan bahwa semua harus dilalui bersama, tetapi Elsa butuh waktu untuk mulai membuka diri terhadap keluarga barunya itu.

Elsa mengeluarkan dua buah foto dari tasnya, foto pertama adalah fotonya bersama dengan Ayah dan Ibu kandungnya, sementara foto kedua adalah fotonya bersama dengan keluarga barunya yang sekarang. Elsa menatap lama foto di tangan kanannya, di mana ia bisa melihat senyuman kebahagiaan yang terbit di wajah Ibu dan Ayahnya.

"Mama sama papa bahagia kan di sana? Elsa harap mama dan papa bahagia. Elsa bukan akan melupakan mama dan papa, Elsa hanya ingin memulai hidup baru tanpa adanya kesedihan. Jika Elsa terus mengingat kematian mama dan papa, maka Elsa akan larut dalam kesedihan. Ma, pa, apa jalan yang Elsa ambil ini udah benar?"

"Udah benar kok, paling benar, sangat benar, amat benar, sungguh benar."

Elsa terperanjat karena kedatangan seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingnya. Ia menoleh dan mendapati Farel sudah berada di sampingnya.

Awalnya, setelah seminggu berdiam diri di rumah dan tidak bertemu Fare, Elsa mengira itu akan menghapus perasaanya terhadap cowok itu. Namun Elsa salah, rasa itu masih ada, buktinya saat ini jantung Elsa masih berdebar lebih cepat dari normalnya.

"Are you okay, Elsa?" tanya Farel.

Elsa mengangguk, ia tersenyum manis. "I'm fine. Really fine."

Farel juga ikut tersenyum, ia memandangi lama-lama wajah Elsa yang tak pernah pudar senyuman manisnya itu sampai akhirnya Farel mengangguk. Farel lebih mendekatkan dirinya pada Elsa, kemudian tanpa permisi terlebih dahulu Farel langsung merengkuh Elsa ke dalam pelukannya, Farel mengusap rambut cokelat Elsa.

Farel tau jika Elsa sedang berbohong. Gadis itu sama sekali tidak baik-baik saja. Ada begitu banyak luka yang berusaha disembunyikan di balik bola mata itu.

"Lo gak sendiri, lo gak baik-baik aja Elsa, sini ceritakan semuanya. Apa gak lelah hati lo memendam semuanya sendiri?"

Elsa terdiam di dalam pelukan Farel. Jantungnya sudah berdebar tak karuan, namun dengan perlahan Elsa membalas pelukan Farel. Awalnya Elsa diam, begitu pun Farel. Namun akhirnya isakan itu mulai terdengar dari bibir Elsa. Gadis itu tak sanggup lagi menahan air matanya yang selama seminggu ini terus saja ditahannya agar tidak tumpah keluar.

Pertahanan Elsa runtuh. Hanya Farel yang mampu menembusnya.

[.]

#DirumahAja 👍

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang