"Lo disini lagi? Gue tebak, pasti lo lagi sedih kan? Sini-sini, gue punya bahu untuk bersandar dan juga punya dada yang bidang untuk dipeluk." ujar Farel.
Elsa menatap Farel yang baru saja menginjakkan kakinya di atap sekolah. Ia yang awalnya duduk bersila di atap itu langsung berdiri dan menghampiri Farel dengan wajah yang sarat akan kesedihan. Elsa langsung memeluk Farel, ia membenamkan wajahnya pada dada bidang milik Farel, dan tak lama seletah itu air mata yang sejak tadi ditahannya sudah mengalir begitu saja membasahi wajah cantiknya.
Elsa masih terisak ketika Farel mengelus pelan rambutnya. Rasanya sangat nyaman, hingga Elsa melupakan fakta bahwa yang saat ini dipeluknya adalah kekasih orang lain. Elsa mengeratkan pelukannya, tangisannya makin menjadi ketika mengingat ia tak akan bisa memiliki Farel seutuhnya, padahal saat ini hanya Farel yang tersisa dari semua orang yang pernah mampir di kehidupannya.
Apa boleh egois kali ini saja? Elsa tidak ingin kehilangan seseorang yang disayanginya saja. Jiwa pelakor dalam dirinya seketika meronta-ronta dan membuat Elsa makin mengeratkan pelukannya dan menempel di dada bidang Farel.
"Kali ini ada masalah apa lagi? Keknya kesedihan dan diri lo emang gak bisa dipisahkan ya? Tapi lo tenang aja, gue bakal berusaha memberikan kebahagiaan buat lo. Jadi, ratu Elsa yang cantik, imut, manis, lucu dan menggemaskan ini kenapa?"
Elsa tertawa, namun masih menangis. Ia menghirup dalam-dalam aroma tubuh Farel yang begitu memabukkan. Jika saja diperbolehkan, Elsa ingin tetap seperti ini. Rasanya teramat nyaman dan berkat Farel juga Elsa bisa sedikit melupakan kesedihan yang silih berganti menghampirinya.
"Mereka pergi. Dan sekarang aku benar-benar sendiri."
"Mereka siapa?" tanya Farel.
"Mama dan saudara tiri aku."
"Kok bisa? Kenapa? Kamu usir?"
Tangisan Elsa pecah, ia terisak dalam dekapan Farel namun masih sempat memberikan anggukan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Farel. Mengingat hal itu, Elsa kembali teringat pada malam kejadian, malam tragis sekaligus memilukan dalam hidup Elsa. Malam yang juga menjadi saksi bahwa Elsa kembali ditinggalkan oleh orang-orang yang disayanginya.
"Ada apa? Sini cerita." bujuk Farel.
"Aku udah jahat banget sama mereka, pantes aku ditinggalin kek gini. Aku nyesel banget, aku mau mereka kembali ke rumah, tapi mereka udah terlanjur terluka karena aku. Aku harus gimana kak? Cuma mereka keluarga aku, dan sekarang mereka malah memilih pergi ninggalin aku juga."
Elsa kembali merasakan elusan pelan di rambutnya. Rasanya teramat nyaman.
"Mereka yang udah pergi gak akan mungkin kembali. Apalagi alasan mereka pergi karena udah terlanjur terluka. It's okay Elsa. Masih ada gue disini, inget kan? Gue udah nganggap lo sebagai adik gue sendiri."
Mendengar jawaban Farel maka semakin histeris Elsa menangis. Ia tak kuasa menahan sesak di hatinya ketika Farel kembali menegaskan bahwa ia hanya dianggap sebagai adik oleh cowok itu.
Semuanya terasa rumit. Semuanya terasa menjengkelkan. Ingin rasanya Elsa protes pada Farel, ia tidak ingin hanya dianggap sebagai adik. Namun, protesan itu akhirnya ia tahan karena ia tidak ingin jika nanti ia jujur kepada Farel maka Farel akan menjauhinya.
Jelas saja, kekasih cowok itu lebih segalanya daripada Elsa ini.
"Aku kesepian kak, aku takut hidup di dunia ini sendirian.".
Jelas saja, Elsa hanya gadis remaja yang baru memasuki dunia putih abu-abu, umurnya terlalu dini untuk menjalani kehidupan di dunia ini yang amat keras dan kejam.
Namun, Elsa tak punya pilihan lain. Ia terpaksa menerima dan memeluk takdir yang ditetapkan semesta untuk dirinya.
"Inget ya? Pintu rumah gue selalu terbuka buat lo. Oke?"
Elsa mengangguk. Ia perlahan melepaskan dirinya dari dekapan Farel karena merasa tidak enak telah membasahi seragam cowok itu dengan air matanya ini.
"Kok udahan? Gak mau peluk lagi?" Farel nyengir.
Elsa mengusap jejak air matanya yang masih membekas di kedua pipinya. Ia kemudian mendongak untuk menatap Farel langsung tepat di kedua bola mata cowok itu, bola mata yang mampu menghipnotis Elsa, membuat Elsa tak bosan-bosan mengaguminya.
"Apa aku jahat ya kak?" tanya Elsa tiba-tiba.
Setelah kepergian Ibu dan saudara tirinya, Elsa banyak merenung dan memikirkan semua perbuatan yang pernah ia lakukan kepada Ibu dan saudara tirinya itu. Dan untuk semua perbuatannya di masa lalu, ada satu kata yang terus terngiang-ngiang di benaknya, satu kata yang mampu menyakitinya berkali-kali walaupun hanya dengan memikirkannya.
Kejam.
Ia rasa kata itu tepat untuk mendefinisikan segala perbuatannya selama ini, terutama pada Ibu tirinya yang selalu baik padanya namun kebaikan itu malah Elsa balas dengan menyakiti hati Ibu tirinya. Tidak hanya sekali, berkali-kali hingga Elsa tak mampu menghitungnya lagi.
Elsa tersadarkan dari lamunan singkatnya ketika merasakan usapan lembut di kepalanya. Ia kembali mendongak untuk bersitatap dengan Farel yang kala itu sedang tersenyum menawan, sangat menawan hingga Elsa merasa silau dengan senyuman maut itu. Lantas Elsa menundukkan pandangannya, jika Farel terus memperlihatkan pesonanya pada Elsa, gadis itu yakin bahwa jiwa pelakornya yang selama ini ia kubur dalam-dalam dapat muncul ke permukaan.
"Lo enggak jahat, takdir yang kejam. Lo tersakiti, Ibu dan saudara tiri lo juga tersakiti. Semuanya karena keadaan, kalian dipertemukan di waktu dan keadaan yang tidak tepat hingga akhirnya saling tersakiti."
"Tapi aku merasa bersalah, terutama sama mama."
"Udah, jadiin itu semua pelajaran buat kedepannya. Janji sama gue, lo harus bisa menghargai niat baik orang lain, dan coba buat berpikir positif sama orang. Gue yakin, itu semua terjadi karena pikiran negatif lo sama mereka, seolah-olah mereka bakalan nyakitin lo sehingga lo membuat tameng untuk melindungi diri lo dengan cara menyakiti mereka."
Elsa membenarkan perkataan Farel. Ia hanya tidak ingin tersakiti, makanya ia membuat tameng untuk melindungi dirinya. Namun, tak pernah ia sangka bahwa tameng yang ia buat untuk melindungi dirinya malah berbalik menyakitinya.
Tiba-tiba Farel menggenggam kedua tangan Elsa, cowok itu masih setia menebarkan senyuman mautnya yang mampu membuat Elsa klepek-klepek.
"Janji sama gue, mulai sekarang lo harus memulai hidup baru. Jadi Elsa yang lebih baik lagi. Disini, gue selalu ada di sisi lo. Jangan takut, kali ini gue pastiin semesta gak akan nyakitin lo lagi." Farel terdiam sejenak, ia mengamati lamat-lamat wajah adik kelasnya yang cantik itu, lalu ia kembali berkata, "lo percaya kan sama gue?"
Tanpa keraguan. Tanpa berpikir panjang. Elsa segera mengangguk. Ia percaya sepenuhnya pada Farel, karena memang cowok itu yang sekarang dia punya di dunia ini. Bagaimana pun caranya, Elsa akan berusaha untuk selalu bersama Farel.
"Bagus kalo gitu, gue janji akan nunjukin ke lo kalo di dunia ini gak semata-mata tentang kesedihan." Farel menunjuk dirinya sendiri sambil tersenyum manis, "karena orang ini bakalan ngasih kebahagiaan buat lo."
Elsa terpana. Lagi, dan lagi. Mengagumi Farel adalah hobinya. Hatinya tak mampu menolak segala pesona yang Farel suguhkan, jadi jangan salahkan jiwa pelakor dalam dirinya yang meronta-ronta untuk dikeluarkan.
Elsa maju selangkah, ia berjinjit untuk mengalungkan lengannya di leher Farel dan memeluk cowok itu bersama segala perasaan cinta dan sayang yang dimilikinya untuk cowok itu, berharap agar Farel merasakan jika gadis yang selama ini ia anggap adik kecilnya itu begitu menyayangi cowok itu.
"Aku sayang kak Farel." gumam Elsa.
"Iya, gue juga sayang sama adik kecil yang satu ini." balas Farel.
Farel terkekeh hambar, ia membalas pelukan Elsa dengan perasaan linglung. Seperti ada yang salah dengan perkataannya barusan, tapi ia tak tau dimana letak salahnya.
[.]

KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweis
Teen FictionKematian itu pasti. Rasa cinta dan sayang bisa pudar. Semuanya bisa datang dan pergi kapan pun namun tak ada yang menetap. Oleh sebab itu, ada pepatah yang mengatakan bahwa "Dalam kehidupan, tidak ada yang abadi, karena untuk setiap 'selamat datang'...