Elsa melirik jam dinding yang ada di ruang tamu di rumahnya, sudah menunjukkan pukul 8 malam dan ia baru pulang ke rumah. Ia menebak jika Ibu dan saudara tirinya itu sudah di rumah, apalagi ketika mendengar suara yang datangnya dari meja makan. Langkah kakinya menuntun Elsa memghampiri keluarganya itu dengan perasaan berkecamuk. Terasa ada yang mengganjal di hatinya, yang sejak siang tadi ditahannya dan akan ia ungkapkan sekarang.
Keluarga katanya? Jika memang benar begitu, tak ada yang salah jika Elsa berbagi perasaan yang sejak tadi dipendamnya.
Katanya, mereka keluarga, tak ada yang dipendam dan tak ada juga yang ditutupi, saling berbagi dan merangkul.Oleh sebab itu, Elsa berdiri di samping meja makan, menatap sosok Ibu tirinya yang cukup kaget dengan kehadiran Elsa yang tiba-tiba.
"Kamu dari mana aja nak?" tanya Ibu tirinya.
Elsa hanya diam. Namun sebenarnya ia sedang memikirkan kata-kata yang cocok untuk mengawali pembicaraan. Malam ini semuanya harus dituntaskan, Elsa tidak ingin memendam semuanya sendirian dan berujung tersakiti juga sendirian. Jika memang menyakitkan, karena mereka semuanya adalah keluarga maka semuanya juga harus merasakan sakitnya, bukan hanya Elsa saja.
"Ada yang mau kamu omongin nak?" Ibu tirinya peka.
Elsa mengangguk. Ia menatap dalam-dalam wajah Ibu tirinya.
"Menurut mama, apa ada orang yang tulus di dunia ini?"
Ibu tirinya mengangguk.
"Siapa?" tanya Elsa.
"Orangtua. Mereka tulus menyayangi anak-anak mereka."
Elsa mengangguk, jawaban yang masuk akal. Namun bagaimana jika itu adalah anak tiri? Apakah rasa tulus itu masih ada?
"Maksud mama, anak kandung 'kan?" ralat Elsa.
Ibu tirinya terdiam, beliau menatap Elsa tidak mengerti.
"Sebenarnya kamu mau ngomongin apa nak?" tanya Ibu tirinya.
"Mama benar-benar tulus sayang sama aku? Mama benar-benar nganggap aku anak mama?"
"Kamu kok nanyanya seperti itu nak?"
Elsa masih tetap menatap Ibu tirinya, sedetik pun tak pernah ia alihkan pandangannya itu.
"Aku heran aja, bukannya selama ini aku selalu nyakitin mama? Kenapa mama masih bisa nerima aku? Apa karena harta papa?"
Persis Elsa selesai mengucapkan ujung kalimatnya, secara bersamaan suara sendok yang dibanting memenuhi ruangan makan itu. Elsa terperanjat dan menatap Adit yang merupakan pelaku dari kegaduhan itu. Adit saat itu juga balas menatap Elsa. Tetapi tatapannya berbeda, tak ada lagi tatapan hangat yang selalu ia tunjukkan pada Elsa, melainkan tatapan dingin yang tajam, tatapan yang mampu membuat Elsa terbungkam.
"Hina banget ya nyokap gue dipandangan lo. Lo gak pernah berubah ya Elsa, benar-benar pinter nyakitin orang lain. Setelah semua kebaikan yang mama gue kasih ke lo, lo masih mikir negatif? Wahhh!! Kayaknya otak lo emang benar-benar tercipta buat mikir yang enggak-enggak tentang orang lain."
Elsa menghela napas pelan, sebelum dia sempat membalas perkataan Adit, Rayya sudah lebih dulu membungkam bibir Elsa agar tetap diam dengan kalimatnya.
"Tolong ya Elsa ucapannya dijaga. Udah cukup lo nyakitin mama gue dengan semua kalimat lo. Apa pernah mama gue nyakitin lo? Apa mama gue pernah ngebales semua perbuatan lo?"
Elsa terdiam, ia merasa disudutkan oleh dua kakak beradik itu. Tetapi tetap saja ia tak menyadari kesalahannya dan malah bersikeras bahwa tidak ada yang salah dengan pertanyaannya itu, dalam benaknya Elsa hanya ingin memastikan kebenarannya saja, ia sama sekali tidak menyadari jika pertanyaan sederhananya itu mampu melukai sosok wanita paruh baya yang selama ini berusaha menyembunyikan semua luka yang diterimanya dari Elsa.
Tapi sepertinya semua ini sia-sia belaka. Elsa tetap berpandangan buruk mengenai Ibu tirinya itu, terlepas dari semua kebaikan dan semua kasih sayang yang Ibu tirinya itu berikan untuk Elsa.
"Saya tidak pernah ada niat untuk menguasai harta almarhum papa kamu. Kamu bertanya tentang apakah bisa rasa tulus itu tumbuh dari seorang Ibu tiri untuk anak tirinya? Dengan yakin saya jawab ada! Saya maklum dengan sikap kamu selama ini yang gak pernah mau menerima saya, itu semua karena kamu masih belum bisa ikhlas dengan kepergian mama kamu, saya hanya ingin membantu menutupi luka yang ada dalam diri kamu, saya ingin menjadi sosok Ibu untuk kamu, karena di usia yang masih belia ini kamu masih sangat membutuhkan kasih sayang dari seorang Ibu. Tapi sepertinya semuanya sia-sia, kamu tidak pernah bisa menerima kehadiran saya, sampai-sampai kamu bisa berpikiran buruk tentang saya." Ibu tirinya akhirnya angkat suara, beliau dengan sengaja mengubah gaya bicaranya pada Elsa karena terlampau sakit hati dituduh yang tidak-tidak
Elsa hanya bisa terdiam menatap air mata yang mulai mengalir di wajah Ibu tirinya itu. Ia memperhatikan mata sayu itu dalam-dalam hingga akhirnya ia tersadar jika ia telah salah menilai Ibu tirinya.
Bagaimana bisa Elsa meragukan ketulusan itu?
"Adit, Rayya, ayo kita pergi dari sini. Kehadiran kita sepertinya memang tidak bisa diterima oleh Elsa. Jangan bawa apapun, tinggalkan semuanya disini agar dia puas karena semua itu pemberian papanya."
Elsa mengerjap, ia menatap kepergian Ibu dan saudara tirinya itu. Ia buru-buru berlari mengejar mereka dengan air mata yang entah sejak kapan sudah membasahi wajah cantiknya.
"Mama maaf, Elsa yang salah. Jangan pergi ma, Elsa gak punya siapa-siapa lagi."
Rayya menepis tangan Elsa yang menahan lengan Ibu tirinya. "Ini mama gue, bukan mama lo. Elsa, sabar itu ada batasnya. Kesabaran mama selama ini malah lo balas dengan tuduhan hina seperti itu? Lo gak punya hati!"
Elsa masih tetap berusaha menahan lengkah Ibu tirinya yang hampir mencapai pagar rumahnya. Melihat Ibu tirinya yang berjalan tanpa suara namun dengan air mata yang tak pernah berhenti mengalir dari mata sayu itu membuat hati Elsa teriris menyakitkan.
Begitu banyak air mata Ibu tirinya yang jatuh karena disakiti oleh Elsa.
"Ma Elsa minta maaf ma, Elsa salah. Jangan tinggalin Elsa ma, bukannya mama udah janji gak akan ninggalin Elsa?" Elsa sudah menangis sesenggukan menahan langkah Ibu tirinya.
Rasanya menyakitkan sekali karena Elsa akan ditinggalkan lagi dalam hidupnya.
Rayya kembali menepis tangan Elsa yang memegang lengan Ibu tirinya itu, dengan terpaksa Rayya mendorong Elsa hingga membuat Elsa terjatuh. Pada saat itulah mereka bertiga bergegas meninggalkan Elsa yang terduduk menangis.
Rasanya masih sangat menyakitkan. Bukannya sudah jelas bahwa ditinggalkan itu teramat menyakitkan?
Elsa merutuk dalam tangisnya, ia mengutuk dirinya yang begitu bodoh. Hanya mereka bertiga keluarganya sekarang, namun ia malah menyakiti mereka.
"Mama, kak Adit, Rayya jangan pergi, jangan tinggalin Elsa sendirian."
Elsa menangis sesenggukan, sendirian di malam hari yang sepi dan dingin. Ia memeluk kedua kakinya, duduk meringkuk sambil membenamkan wajahnya dilutut.
"Aku yang salah, aku yang egois, udah sepantasnya aku ditinggalkan." lirihnya.
Sekarang Elsa benar-benar sendirian, tak ada lagi keluarga yang menawarkan untuk berbagi kesedihan dan kebahagiaan bersama. Tak ada lagi yang merangkulnya, ia telah ditinggalkan seorang diri.
Padahal baru saja Elsa bangkit dari kesedihannya setelah ditinggalkan oleh papanya. Baru saja Elsa mencoba merasakan secuil kebahagiaan bersama keluarga barunya. Tapi ujung-ujungnya Elsa kembali berteman sepi dan kesedihan, dipenghujung cerita hidupnya ia selalu berakhir ditinggalkan.
Sepertinya semesta memang tidak pernah mengizinkan Elsa untuk mencicipi kebahagiaan dalam hidupnya.
"Untuk seseorang yang selalu menyakiti orang lain, bagaimana bisa aku meminta kebahagiaan? Egois sekali." lirih Elsa lagi.
[.]
Jangan bosen dirumah ya teman-teman ((: dan selamat menjalankan ibadah puasa 😇😇

KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweis
Novela JuvenilKematian itu pasti. Rasa cinta dan sayang bisa pudar. Semuanya bisa datang dan pergi kapan pun namun tak ada yang menetap. Oleh sebab itu, ada pepatah yang mengatakan bahwa "Dalam kehidupan, tidak ada yang abadi, karena untuk setiap 'selamat datang'...