23

112 13 0
                                    

Hari minggu adalah hari yang paling tepat untuk bersantai di rumah, apalagi untuk seorang pelajar yang hampir tiap hari menghabiskan waktunya di sekolah. Hari ini rencananya Elsa akan melanjutkan menonton drama korea favoritnya, dan tergetnya adalah  menyelesaikan drama itu hari ini juga. Namun rencana yang sudah ia susun rapi untuk menemani hari liburnya terpaksa batal sejak Ibu tirinya masuk ke dalam kamarnya dengan pakaian yang sudah rapi, padahal hari saja baru menunjukkan pukul 8 pagi.

"Mau kemana ma?" tanya Elsa.

"Ke kondangan, ponakan mama hari ini nikah. Kamu ikut juga ya?"

Elsa mendengus bingung. Antara menerima ajakan Ibu tirinya itu atau menolaknya dan melanjutkan menonton drama korea.

"Aduh gimana ya ma." ujar Elsa bingung.

"Kebanyakan mikir deh, buruan ikut aja!" sahut Adit yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Ibunya.

Elsa mendengus lagi, kali ini dengusan kesalnya tertuju pada Adit. Mau tidak mau Elsa mengalah dan mencoba membuang jauh-jauh rasa kecewanya karena tidak jadi menonton drama korea kesukaannya. Setelah Ibu dan saudara tirinya itu meninggalkan kamar Elsa, ia segera bersiap-siap.

Saat Elsa sedang memilih gaun mana yang cocok dipakainya, ia dikejutkan oleh ketukan di jendela kamarnya. Elsa segera menoleh dan medapati Farel yang tercengir manis di balkon kamar Elsa.

Elsa melupakan sejenak bahwa dirinya sedang memilih gaun yang pas untuk dikenakannya. Gadis itu malah memilih beranjak dari lemari pakaiannya dan berjalan menghampiri Farel. Setiap langkah kakinya yang berjalan mendekati Farel, detak jantungnya mulai bekerja di atas normal sehingga menimbulkan sensasi menggebu-gebu yang menyenangkan.

Ah, rasanya mencintai pacar orang tidak terlalu buruk ternyata. Elsa masih bisa mendengarkan degupan bahagia jantungnya, ia masih bisa merasakan pipinya yang memanas karena tersipu, dan ia juga masih bisa merasakan sensasi menggelitik di perutnya, terasa amat geli dan menyenangkan. Namun ada satu hal yang tak bisa ia rasakan, yaitu dicintai oleh orang yang ia cintai itu.

"Ada apa kak Farel?"

"Keliatannya lo mau pergi ya?"

Elsa mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Farel.

"Yah, rencananya hari ini gue mau ngajak lo ke pasar malam."

"Eh?" Elsa terdiam sebentar. "Pasar malam?"

Farel mengangguk pada Elsa.

"Bisa kok! Bisa!!! Lagian enggak bakalan lama aku di acara nikahan ponakan mama!! Nanti malam ya? Jam berapa kak?"

Farel terkekeh geli melihat Elsa yang begitu antusias menerima ajakannya untuk pergi ke pasar malam. Hanya pasar malam. Kenapa pula Elsa sampai begitu antusiasnya? Itulah yang ada di pikiran Farel.

"Kabarin aja nanti kalo lo udah pulang, oke?"

Elsa mengangguk semangat, sambil tersenyum manis. Farel hanya tidak tau bahwa meskipun hanya diajak ke pasar malam, ke mana pun  itu, semuanya akan terasa berkesan jika bersama dengan orang yang kita cintai.

Setelah Farel meninggalkan balkon kamar Elsa, gadis itu kembali masuk ke kamarnya dan mengulang kembali memilih gaun yang pas untuk dikenakannya.

[.]

Sesampainya di acara tersebut, Elsa cuma bisa diam memandangi orang-orang yang tak dikenalnya. Karena Ibu tirinya itu sedang asik berbincang dengan kerabatnya dan yang jelas mereka semua adalah ibu-ibu yang rempong. Elsa rasanya ingin menghilang saja di antara ibu-ibu rempong itu, selain tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan, Elsa juga merasa risih karena setiap kali ada saja ibu-ibu itu yang diam-diam menatap Elsa. Tatapannya ituloh, tatapan seperti ingin menginterogasi orang.

"Ini anak tiri kamu kan? Kalian masih tinggal bareng? Bukannya ayahnya sudah meninggal?"

Elsa masih diam mendengar pertanyaan itu. Kasar sekali ibu itu. Sekasar wajahnya yang berusaha ditutupi oleh bedak super tebal.

"Iya dia anak saya, namanya Elsa."

Elsa memberikan sedikit senyuman pada ibu-ibu yang ada disana. Daritadi lidahnya sudah gatal sekali ingin mengucapkan kata-kata pedas andalanya, kata-kata yang biasa ia gunakan dulu untuk menyakiti hati Ibu tirinya itu.

"Kamu baik sekali ya mau mengurus anak tiri kamu." ucap ibu-ibu yang lain, entah sapa namanya, yang jelas bibirnya terlalu mencolok karena diberi lipstik berwarna ungu terang.

"Mungkin janda haus belaian kali ya." batin Elsa sinis.

"Huss apasih omongannya, Elsa juga udah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Sudah seharusnya saya urus."

Elsa terpana mendengar jawaban Ibu tirinya itu. Ia curiga, jangan-jangan Ibu tirinya itu sebenarnya adalah bidadari surga yang dititipkan di bumi, baik sekali hatinya meskipun sudah sering Elsa sakiti.

"Ma, aku mau ke toilet dulu ya?"

"Oh yaudah, apa perlu mama temenin?"

Elsa menggeleng, ia berusaha tersenyum pada Ibu tirinya walaupun sejak tadi dirinya sudah sangat kesal dengan omongan-omongan kerabat Ibu tirinya itu.

Elsa berjalan meninggalkan kerumunan ibu-ibu itu, namun saat langkahnya masih belum jauh, ia tak sengaja mendengar suara ibu-ibu yang berceletuk, "pasti kamu mau merawat anak tiri kamu itu untuk mendapatkan harta kekayaan ayahnya kan?"

Langkah Elsa seketika terhenti. Begitukah? Jika ia, keterlaluan sekali. Bukannya persoalan harta kekayaan, ini tentang perasaan tulus. Elsa sudah mulai bisa tulus menganggap kehadiran Ibu tirinya itu, sementara Ibu tirinya? Apakah Ibu tirinya itu benar-benar tulus?

"Mana ada orang di dunia ini ada yang tulus. Apalagi itu seseorang yang sering kamu sakiti." batin Elsa.

Memikirkan itu membuat Elsa mengubah langkahnya yang awalnya hendak menuju toilet dan berganti menuju pintu keluar hotel tempat resepsi pernikahan itu berlangsung.

Perasaan Elsa berkecamuk. Ia merasa kesal dengan perkataan ibu-ibu tadi dan juga pikiran negatifnya terhadap Ibu tirinya itu. Ia mencoba mengenyahkan semua pikiran buruk itu, namun tetap saja egonya mengalahkan segalanya dan membuat rasa benci yang berusaha Elsa kubur untuk Ibu tirinya itu muncul kembali ke permukaan.

[.]

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang