25

114 15 0
                                    

Katanya, di dunia ini tak ada yang abadi. Segala sesuatunya akan datang dan pergi, namun tak ada yang menetap. Elsa mengangguk, sekarang ia percaya bahwa memang tak ada yang abadi di dunia ini. Elsa memejamkan matanya sejenak, ia mengunyah perlahan roti yang dipilihnya untuk menemani sarapannya kali ini, sendirian dan sepi itulah yang Elsa rasakan. Matanya membengkak, hidungnya memerah, wajahnya pucat pasi, dan kantung mata yang begitu jelas tercetak di wajahnya, ia tampak seperti mayat hidup, namun untungnya dia masih bernapas.

Ibu tirinya tulus menyayanginya. Itulah alasan yang membuat Elsa menangis semalaman. Menyesal? Tentu saja, sangat menyesal. Namun semuanya sudah terlambat, Ibu tirinya sudah pergi meninggalkan anak tiri yang tidak tau cara berterima kasih seperti Elsa ini.

"Harta?" sarkas Elsa.

Peduli setan. Elsa tidak lagi mengkhawatirkan harta. Ia hanya ingin Ibu dan saudara tirinya kembali ke rumah, hanya itu.

"Semuanya udah berakhir." gumamnya.

Elsa membereskan sarapannya, ia harus bergegas menuju sekolah. Sekarang ia harus bisa mandiri tanpa bantuan Ibu tirinya lagi. Sepi, seperti ada yang hilang, itulah yang dirasakan Elsa yang kala itu sedang melewati undakan tangga.

Elsa berhenti di depan kamar Adit yang pintunya tidak tertutup. Ia memilih masuk ke kamar yang di dominasi oleh warna biru tua.

Kira-kira, kak Adit sekarang lagi apa? Itulah pemikiran yang muncul ketika Elsa memasuki kamar Adit.

Untuk ukuran sebuah kamar cowok, kamar Adit bisa dibilang cukup rapi. Elsa berjalan menuju meja belajar yang di sana ada begitu banyak sekali buku-buku yang super tebal. Elsa menyentuh buku itu, ia berniat menyusunnya, akan tetapi gerakannya terhenti saat melihat sebuah buku diary.

Elsa tergelak. Seriously? Elsa sama sekali tidak mengira jika cowok ambisius dan gila belajar seperti Adit bisa mempunyai buku diary.

Kek cewek aja. batin Elsa.

Elsa membuka buku diary itu. Ia menyerngit, sama sekali tak mirip seperti buku diary kebanyakan karena di buku tersebut ada begitu banyak coretan rumus-rumus. Membosankan sekali hidup Adit, itulah yang dipikirkan Elsa. Tetapi saat sampai di halaman terakhir dari buku diary tersebut Elsa dibuat tercengang ketika membaca dua paragraf yang tidak begitu panjang namun mampu membuat Elsa terdiam. Elsa melemparkan buku itu sembarang, kalimat terakhir dari buku diary itu terngiang-ngiang di otaknya.

Elsa Aurora, I love you my step stister.

Adit menyukainya?

[.]

Elsa mengunci pintu rumahnya. Asing sekali perasaan yang dirasakannya saat ini. Ternyata seperti inilah rasa kesepian yang sebenarnya. Dahulu Elsa sering merasakan kesepian saat almarhum Ayahnya masih ada, ataupun saat keberadaan Ibu dan tirinya masih di sampingnya, tapi itu semua tidak sesakit yang Elsa rasakan kali ini. Karena kesepian kali ini benar-benar membuat Elsa tersiksa dan tersakiti.

Dan pada akhirnya Elsa ditinggalkan lagi dan berakhir sendirian. Sepertinya memang begini lah takdir hidup Elsa. Kesepian. Tersakiti. Dan berteman luka.

Miris sekali. Pikir Elsa.

Elsa berjalan sendirian menuju sekolahnya. Meskipun wajahnya terlihat datar tanpa emosi, namun jauh di lubuk hatinya ada hati yang telah hancur berkeping-keping karena dipermainkan oleh realita semesta yang ditakdirkan untuk dirinya. Elsa hanya mencoba bertahan, karena sekarang mau seterpuruk apapun dirinya ia tak punya lagi tempat untuk mengadu, ia benar-benar sendirian di dunia ini.

Elsa hanya mencoba meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja, dan berharap ia benar-benar baik-baik saja.

"Mama benar-benar tulus sayang sama aku? Mama benar-benar nganggap aku anak mama?"

Elsa tertawa miris memikirkan perkataannya kemarin yang ia tanyakan pada Ibu tirinya. Ia yang selama ini tak pernah menganggap keberadaan Ibu tirinya, ia yang selama ini selalu membenci Ibu tirinya, dan ia yang selama ini selalu menyakiti Ibu tirinya sama sekali tidak pantas menanyakan hal tersebut.

Kini dia sadar, ia benar-benar mengerikan. Pantas saja semesta memberikan takdir seperti ini padanya karena bisa saja takdir ini menjadi balasan atas segala dosa-dosa yang pernah ia perbuat dahulu.

"Bangsat!" gumam Elsa.

"Apa benar-benar gak bisa meminta mereka kembali lagi?" tanyanya putus asa.

Tidak ada alasan kembali pada orang yang telah menyakiti kita. Untuk apa kembali jika pada akhirnya akan disakiti lagi? Hanya manusia naif yang mau kembali. Dan juga Ibu dan saudara tirinya itu bukan Hujan yang mau datang kembali meskipun tau rasa sakitnya jatuh berkali-kali.

Dan pada akhirnya, tak ada lagi yang tersisa. Semuanya pergi, semuanya berlalu, hanya luka yang setia menemani Elsa. Elsa tetap melangkah menuju sekolahnya dengan pikiran yang berkecamuk dibenaknya. Rasanya ingin meluapkan segala yang membebaninya, namun tak ada lagi keluarga yang mau mendengarkan segala keluh kesahnya.

Karena sekarang, ia benar-benar sendiri.

[.]

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang