05

288 49 52
                                    

Elsa mendongak menatap langit yang tidak hentinya meneteskan air hujan sejak tadi pagi. Harusnya Elsa mendengarkan saran Ibu tirinya untuk membawa payung. Jika sudah begini, kalimat 'Penyesalan selalu di akhir' itu memang terbukti.

"Hujannya awet, kek kenangan sama mantan," ujar Lea.

Apa-apaan, Elsa menoleh ke samping dan mendapati Lea juga sedang menatap langit yang dipenuhi awan-awan hitam.

"Kita pesan Go-Car aja gimana? Susah nyari taksi hujan-hujan gini," saran Lea.

"Mau pesan Go-Car juga perlu ke gerbang, gak mungkin kan mobilnya masuk ke sekolah?" komentar Elsa.

Benar juga, pikir Lea. Saat cewek itu sedang berpikir keras mencari cara agar mereka berdua bisa pulang tanpa harus tersentuh air hujan, tiba-tiba seorang cowok yang tak diharapkan kehadirannya sudah berdiri di samping Lea sambil membawa payung.

"Mau pulang bareng?" tawar Tian.

"Ga."

Tian mencoba tersenyum saat mendapat respons cuek dari Lea.

"Mau pinjem payung ini?"

"Ga."

Elsa yang menyaksikan itu menjadi gemas sendiri akan tingkah cuek Lea. Dia menyikut lengan Lea sambil berkata, "cuek amat, gak baik tau."

Lea memutar bola matanya, lagian mana bisa Lea bersikap ramah pada Tian yang tidak disukainya itu. Lea hanya tidak ingin bersikap munafik di depan Tian.

"Ayo gue anterin lo pulang, gratis dan aman kok." tawar Tian lagi, sama sekali belum menyerah walaupun sudah ditolak berkali-kali. Soalnya Tian ini tipe-tipe cowok pejuang sejati yang pantang mundur ituloh.

"Udah pulang sana sama Tian." ujar Elsa.

Lea makin dibuat jengkel, "apaansih, gue mau bareng lo aja."

"Elsa ikut aja yuk, ntar gue anterin juga." sahut Tian.

Elsa menggeleng, "eh nggak usah, nggak usah repot - repot, ntar malah ganggu lagi." Elsa lalu mendorong - dorong tubuh Lea sambil berkata, "udah sana."

Tian sudah membuka payungnya, sebelum berdiri di samping Tian di bawah naungan payung itu, Lea masih sempat menoleh ke arah Elsa, masih tidak tega meninggalkan sahabatnya yang jomblo itu sendirian.

"Gue enggak semenyedihkan itu ya, gak usah pasang tampang sedih gitu dong ngeliat guenya." protes Elsa.

Setelah kepergian Lea dan Tian, Elsa kembali memperhatikan tetesan dari langit yang tidak henti membasahi seluruh permukaan bumi. Waktu itu sekolah sudah mulai sepi. Tanpa sadar Elsa mengangkat telapak tangannya hanya untuk menjulurkannya merasakan tetesan air hujan itu.

"Apasih yang istimewa dari hujan? Kenapa kehadirannya selalu di tunggu orang-orang?" Elsa bergumam sendiri.

Puas membasahi tangannya dengan air hujan, kini Elsa memberanikan diri melangkah keluar dari koridor karena ingin merasakan air hujan menyentuh seluruh tubuhnya.

Elsa mengadah, wajahnya sudah sempurna dibasahi oleh air hujan yang tak kunjung berhenti.

"Katanya hujan itu romantis karena dia mau kembali meskipun tau rasa sakitnya jatuh berkali-kali," kata Elsa. "Ah quotesnya alay amat," lanjutnya.

Elsa mengusap wajahnya, cewek itu menunduk untuk menatap seragam sekolahnya yang sudah basah. Ini aneh, kenapa dia mau-maunya main hujan seperti ini? Kayak bocah saja.

Elsa mengernyit bingung, kenapa dia sudah tidak merasakan air hujan mengenainya lagi? Dia mendongak, bukan lagi langit mendung yang dilihatnya, melainkan sebuah payung berwarna biru gelap yang kini melindunginya dari air hujan.

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang