07

180 24 38
                                    

Elsa akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumahnya setelah berkali-kali dibujuk oleh Farel. Ia berjalan memasuki rumahnya dengan wajah tertekuk, apalagi ketika melintasi ruang keluarga dirumahnya, ia sangat ingat sekali jika tadi di ruangan inilah ia melihat kedua saudara tirinya mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari seorang Ayah, harusnya Elsa yang berada disana dan bukannya Adit ataupun Rayya. Mengingat kejadian tadi, menambah rasa benci dalam diri Elsa kepada kedua saudara tirinya itu.

"Elsa, baru pulang nak?"

Sekarang Elsa malah mendengus dengan wajah yang masih tetap tertekuk ketika mendengar suara Ibu tirinya. Elsa memilih mengabaikan sapaan Ibu tirinya itu dan mulai melangkah menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Persis di anak tangga yang ke empat, Elsa terpeleset karena sepatunya yang masih basah itu tidak dibukanya terlebih dahulu ketika ingin menaiki tangga, dan hanya butuh beberapa detik saja untuk tubuh Elsa terjatuh dan berakhir tengkurap di dasar lantai.

"Kamu gapapa nak?" Ibu tirinya langsung berlari menghampiri Elsa.

Elsa meringis, "emangnya ada orang yang abis jatoh dari tangga dan baik-baik aja?"

Ibu tirinya menghela napas mendengar jawaban kasar dari bibir Elsa, ia mencoba bersabar menghadapi anak tirinya itu dan membantu Elsa berdiri. "Kenapa sepatunya gak di lepas dulu sayang?"

"Lupa." jawab Elsa.

Elsa dibantu berdiri oleh Ibu tirinya dan didudukkan di sofa dekat tangga, sementara Elsa masih meringis menahan rasa sakit di pergelangan kaki kirinya, Ibu tirinya itu sudah berlari mencari obat untuk mengobati Elsa. Elsa menatap kakinya yang berdarah, berkali-kali ia merutuki dirinya sendiri yang terlampau ceroboh.

"Idih naik tangga aja gabisa, kek kecoa aja deh." ringisnya.

Tak berapa lama Ibu tirinya datang sambil membawa obat merah, sebenarnya Elsa sangat malas menerima perlakuan baik dari Ibu tirinya itu, tetapi ia tak punya pilihan lain lagi. Akhirnya Elsa membiarka  Ibu tirinya itu mengobati luka dikaki kirinya.

"Tahan bentar ya."

"Hmm."

"Loh, Elsa kenapa?"

Elsa mendongak saat mendengar suara yang sudah begitu familiar di telinganya, saat sepasang matanya bertatapan dengan sepasang mata milik Ayahnya itu rasanya Elsa ingin menangis saat itu juga karena saking rindunya kepada sang Ayah. Tapi yang dilakukan Elsa malah sebaliknya, ia memutuskan kontak mata itu dan memilih mengabaikan Ayahnya dengan berpura-pura menunduk menatap luka dikakinya.

"Barusan jatuh di tangga." Ibu tirinya yang menjawab.

"Daridulu cerobohnya gak pernah hilang ya." Ayahnya mengacak rambut Elsa sambil duduk disamping putrinya itu.

Moment itu tentu saja membuat hati Elsa terenyuh, jika dipikir-pikir sudah lama sekali Ayahnya tidak pernah mengacaukan rambutnya itu. Dulu, Elsa selalu marah jika Ayahnya melakukan  hal itu tapi sekarang Elsa rasanya mau menangis saja karena sangat merindukan sosok Ayahnya yang dulu.

"Kenapa harus berubah sih pa?" batin Elsa.

"Mawarnya bagus banget mas, aku suka banget sama bunga mawar." ujar Ibu tirinya kala melihat buket mawar yang ditangan Ayah Elsa.

Elsa termenung melihat mawar itu, itu adalah bunga kesukaan almarhumah mamanya. Biasanya, jika Ayahnya sudah membeli buket mawar itu pastilah beliau sedang ingin mengunjungi makam almarhumah mamanya.

Ayah Elsa tersenyum sambil menyerahkan mawar itu kepada Ibu tirinya,  "yaudah ini buat kamu aja. Sebenarnya itu buat mamanya Elsa, tapi nanti saya beli lagi saja saat di perjalanan menuju makamnya."

Seketika lenyap sudah senyum Elsa yang baru terbit beberapa detik lalu. Mudah sekali Ayahnya menghancurkan perasaan putrinya itu. Elsa tiba-tiba berdiri sambil merebut paksa buket mawar yang sudah berpindah tangan ke Ibu tirinya. Ia menatap Ibu tirinya itu dengan tatapan benci yang tak bisa disembunyikan.

"Mawar ini milik mama aku! Tante jangan merebutnya!" bentak Elsa. Nada suaranya begitu tinggi dan terdengar tidak sopan jika diucapkan kepada orang yang lebih tua, hal itu tentu saja membuat Ayahnya yang  berada di samping Elsa terkejut karena tidak menyangka jika putrinya bisa sekasar itu.

"ELSA! enggak sopan kamu ngebentak mama kamu kayak gitu."

Elsa mendengus jengkel, "tante ini bukan mama aku! Sampai kapan pun ga akan pernah aku anggap sebagai mama aku!"

"Kamu ini kenapa sih? Kenapa kamu jadi suka melawan orang tua?!"

"INI SEMUA JUGA KARENA PAPA! KENAPA PAPA GAK PERNAH BISA NGERTIIN ELSA?! PAPA GAK PERNAH MIKIRIN PERASAAN ELSA YANG BARU KEHILANGAN MAMA, TAPI PAPA MALAH NIKAH SAMA TANTE INI! PAPA JAHAT! PAPA UDAH BERUBAH! SEKARANG PAPA PILIH, ELSA APA TANTE INI?!"

Elsa berteriak kalap, ia menatap Ayahnya dengan wajah yang sudah basah akibat air mata yang sudah tak bisa ditahannya lagi. Ia tidak peduli jika ia berbicara dengan nada tinggi di depan Ayahnya sendiri. Ia sudah terlalu lelah memendam sakit hatinya seorang diri, ia sudah tak sanggup lagi hidup bersama Ayahnya yang perlahan-lahan mulai berubah menjadi sosok yang tidak dikenalnya lagi.

"Kamu ngomong apa sih sayang? Duduk dulu, bicara baik-baik, jangan kayak gini." Ayahnya berusaha lembut pada Elsa karena tidak tega melihat putrinya yang menangis sesenggukan seperti itu.

"ELSA APA TANTE INI?!!" Elsa bertanya kembali, masih tidak mau menurunkan nada tinggi suaranya.

Ayahnya hanya bisa menghela napas lelah, tidak tau harus berbuat apa saat disuruh untuk memilih. Tentu saja beliau tidak bisa memilih diantara keduanya, karena dua-duanya sama-sama beliau butuhkan.

"Papa diem berarti papa pilih tante ini." lirih Elsa.

Setelah berkata begitu, Elsa tiba-tiba berjalan meninggalkan keluar rumah dan mengabaikan panggilan dari Ayahnya serta rasa sakit yang masih terasa di pergelangan kakinya. Elsa sempat berhenti sebentar saat tiba di pagar rumahnya hanya untuk menoleh kebelakang, namun tak ada tanda-tanda bahwa Ayahnya akan mengejarnya.

"Miris." lirihnya.

Elsa kembali melangkah, tak tau kemana asalkan menjauh dari rumah yang bukan lagi tempatnya pulang. Rumah itu sudah berbeda, bukan lagi rumah yang selalu bisa mendatangkan kebahagiaan padanya, tetapi sebaliknya, tiap kali berada dirumah itu selalu saja menyakiti perasaan Elsa dengan berbagai cara.

"Gue benci mereka!" gumamnya tanpa sadar.

[.]

Wkwk greget!!!! Akhirnya bisa ngepost ehe😶😶

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang