17

132 22 24
                                    

Mobil sedan berwarna putih yang sudah tak asing lagi di mata Elsa kini sudah terparkir rapi di halaman rumahnya. Elsa menatap mobil Ayahnya itu dengan wajah bingung karena tak biasanya sang Ayah pulang cepat. Elsa yang masih berdiri di depan pintu utama rumahnya bersama Adit hanya bisa diam ketika mendapat usapan di kepalanya dari sang Ayah.

"Hari ini papa pulang cepat. Rencananya papa mau ngajak kalian semua jalan-jalan."

"Wah kebetulan banget pa! Elsa ini lagi bete karena orang yang dia suka udah punya pacar pa!" ledek Adit.

Elsa mendengus kesal, padahal sebentar lagi senyumannya akan segera terbit karena ajakan jalan-jalan dari sang Ayah. Tetapi itu semua batal berkat Adit, jika sudah begini bagaimana bisa Elsa berhenti untuk membenci saudara tirinya itu?

"Hmm? Anak papa udah gadis ya, udah mulai suka sama cowok."

Wajah Elsa memerah, ia ingin membantah perkataan Ayahnya namun hal itu benar jadi ia memilih untuk diam saja.

"Ayok sekarang kalian siap-siap dulu."

"Siap pa!" jawab Elsa dan Adit serentak.

Elsa memasuki rumahnya dengan wajah berseri-seri, setelah sekian lama akhirnya ia bisa memiliki waktu bersama Ayahnya lagi, meskipun nantinya akan ada Ibu dan saudara tirinya, tetapi tak apa, Elsa bisa mengabaikan mereka dan memilih fokus pada Ayahnya saja.

Ketika Elsa sedang asik berdandan dan memilih baju yang bagus untuk dipakainya, pada saat itu pula kedua matanya tak sengaja menatap kearah kalender yang ada di atas meja belajarnya. Gerakan tangannya terhenti, ia berjalan mendekati kalender itu dan fokus pada tanggal yang dilingkari dengan tinta merah, tanggal yang menarik perhatiannya.

6 maret..

Hari ini adalah hari ulang tahun almarhumah Ibunya. Elsa menatap nanar tanggal yang sengaja ia lingkari di kalender tersebut. Elsa merasa bersalah pada dirinya sendiri karena telah melupakan hari ulang tahun Ibunya sendiri. Rasa bahagia yang sempat Elsa rasakan beberapa saat yang lalu langsung menguap saat itu dan bergantikan dengan air mata yang perlahan turun mulai membasahi kedua pipinya.

tok tok tok

Elsa beralih menatap pintu kamarnya yang perlahan terbuka, dari balik pintu itu muncul Ibu tirinya yang sudah rapi.

"Elsa, kamu kenapa?"

Elsa hanya diam. Ia menghapus jejak air mata yang masih membekas di wajahnya. Lancang sekali Ibu tirinya sudah masuk ke kamarnya tanpa meminta izin terlebih dahulu.

"Ngapain tante kesini?"

"Kamu kok belum siap-siap juga?"

Elsa mengibaskan tangan Ibu tirinya yang ingin mengusap rambutnya.

"Aku gak jadi ikut."

"Loh kenapa?"

Elsa terdiam. Sepasang matanya menatap nanar kearah foto Ibunya yang tak pernah ia singkirkan dari kamarnya. Elsa tak habis pikir dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa ia melupakan hari ulang tahun Ibunya.

"Mending tante keluar deh dari kamar aku."

"Kamu gak jadi ikut jalan-jalan nak?"

Elsa mendengus sebal, "GIMANA AKU BISA JALAN-JALAN SAMA KALIAN KALO HARI INI ULANG TAHUN MAMA AKU!! UDAH DEH MENDING TANTE KELUAR DARI KAMAR AKU!!" Elsa berteriak kalap, ia memilih keluar dari kamarnya sendiri karena tidak ingin berlama-lama menatap wajah Ibu tirinya.

Di luar kamar Elsa bertemu dengan Ayahnya yang ternyata masih memakai pakaian kerjanya. Elsa hendak mengabaikan Ayahnya, tetapi ia terlambat karena Ayahnya sudah lebih dulu mencegah langkah Elsa.

"Kamu kenapa? Kamu habis nangis nak?"

Elsa menatap Ayahnya dengan mata berkaca-kaca, "hari ini mama ulang tahun pa. Papa lupa juga?"

Ayah Elsa terdiam. Sangat lama. Sampai Elsa lelah menanti jawaban dari Ayahnya. Tetapi, dengan keterdiaman Ayahnya itu Elsa sangat yakin jika Ayahnya juga lupa akan ulang tahun Ibunya. Mengingat hal itu, Elsa menjadi makin sedih. Cepat atau lambat pasti Ibunya akan dilupakan oleh Ayahnya. Bahkan hanya dengan memikirkan itu saja sudah mampu membuat Elsa sedih.

"Elsa, lebih baik mulai sekarang kamu memulai hidup baru, jangan di ingat-ingat apa yang dahulu, jangan diingat lagi sesuatu yang bikin kamu terluka. Ayo kita berdamai dengan masa lalu nak."

Elsa terdiam mendengar perkataan seperti itu yang bisa-bisanya keluar dari bibir sang Ayah. Elsa tidak menyangka jika Ayahnya itu memang sudah benar-benar melupakan Ibunya.

"Aku gak mau!"

"Terus apa kamu mau terus terjebak diluka yang sama? Mau sampai kapan?"

"Setidaknya itu lebih baik daripada harus melupakan. Sesakit apapun kenangan dulu, itu tetap bagian dari kenangan hidup aku. Gimana bisa aku lupain gitu aja?"

Ayah Elsa menghela napasnya, "yaudah kalo kamu maunya begitu. Tapi ingat, kamu gak akan bisa terus hidup dimasa lalu."

Elsa mengabaikan Ayahnya, ia buru-buru menuruni anak tangga di rumahnya. Tak ada lagi keinginan untuk menghabiskan waktu bersama dengan Ayahnya. Ia hanya ingin bertemu Ibunya.

"Mau kemana?" cegah Adit saat Elsa melewatinya.

"Makam."

"Loh? Gak jadi ikut jalan-jalan?"

Elsa menggeleng, "gue mau ke makam."

"Yaudah gue anterin ya?"

"Gak perlu! Lo nikmati aja waktu lo jalan-jalan bareng keluarga lo."

Adit menghela napas lelah, Elsa mulai lagi mengibarkan bendera perang padanya. Padahal beberapa hari ini cewek itu mulai bersikap lebih baik terhadapnya.

"Lo ngomong apaansih? Lo itu juga bagian dari keluarga ini. Ayo bareng-bareng."

Elsa menggeleng sedih, "sampai kapan pun gue gak akan bisa nerima kalian dihidup gue. Gue gak bisa maksain sesuatu yang cuma bikin gue terluka."

Elsa hendak meninggalkan Adit. Tetapi lagi-lagi Adit berhasil mencegah langkah Elsa.

"Apa lo sebenci itu sama gue? Apa dengan gue pergi dari hidup lo, lo baru bisa maafin gue?"

Elsa terdiam, sempat merasa bersalah pada Adit. Tetapi hal itu hanya sementara karena Elsa bersikeras menahan hatinya agar tidak luluh.

"Jangan ikut campur urusan gue!" ucap Elsa lalu berlalu meninggalkan Adit.

[.]

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang