Harap

201 14 0
                                    

"Kau lihat, nduk! Disana ada bintang nun jauh, tapi bisa bapak pegang," bapakku  membentangkan tangan ke langit abu, lalu digenggamlah bintang. Itulah yang aku lihat.

Aku tersenyum manis.

"Kau tahu, bintang itu seperti impian. Terlihat jauh, namun akan sanggup kau raih, jika kau memandang dari belakang bintang yang kau genggam. Artinya apa? Bahwa sehebat apapun impianmu, jika kau tak melihat dari belakang. Bapak pikir kau akan gagal."

"kenapa seperti itu, pak?"

"Bahwa yang buruk itu bukan masalalu, tapi hidup di masa sekarang untuk masa depan tanpa melihat masa lalu."

Aku tersenyum, tanpa harus bertanya lagi.

"Kau tahu, kenapa bapak lebih suka fajar daripada senja?"bapak melanjutkan obrolan.

"Kenapa pak?" tanyaku polos.

"Karena fajar jarang dinikmati manusia. Manusia hanya mengagungkan senja tanpa tahu maknanya. Menulis tentang senja, hanya karena ingin dianggap puitis. Bapak muak."

"Lalu?"

"Banyak yang ngakunya penimat senja, lalu dibuatlah syair. Mereka berbincang seolah-olah tahu tentang senja. Banggalah si penyair itu. Padahal menikmatinya langsungpun, belum pernah. Itu memalukan sekali. Fajar itu ibarat impian, akan sangat mudah kau nikmati tanpa harus peduli orang lain yang antri. Beda dengan senja, banyak orang suka, peluangmu sedikit untuk kau lihat. Maka pilihlah yang beda, kau akan tetap berarti meskipun sendirian, "

"Kau tidak perlu mengikuti orang lain, apalagi hanya trend yang ingin dianggap keren. Melelahkan, nduk. Berkacalah dari masalalu, jangan dari orang lain. Sampai kapanpun bayangan yang terbentuk tak akan membuatmu jadi diri sendiri,"

"Kamu akan jadi orang hebat. Tidak perlu besar, yang penting bermanfaat."

Tetaplah berhusnudzon  terhadap Allah! Kau sempurna, dengan apa yang kau miliki.  Kau bahagia, dengan apa yang kau yakini. Be carefully!

By: Milawati
Majalengka, 28 Mei 2018

Kau PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang