Aku pernah sangat percaya padamu, sangat peduli, berusaha selalu memahamimu, berusaha mencintaimu sebaik mungkin; tentunya dengan caraku sendiri.
Tapi ternyata aku dikhianati, ditusuk tepat di jantung.
Aku: "Kau selalu baik padaku, pengertian, peduli. Pun aku selalu melakukan semua yang kau minta. Aku gak bisa kayak gini, aku gak mau kamu pergi."
Kau: "Ka, sini tatap mataku...--
Ia menyuruhku menatap matanya yang seperti semakin menjerumuskanku ke kegelapan sekaligus kepedihan.
Kau: "Kau lihat cinta di mataku, Ka?"
Aku ingin mengangguk tapi ragu karena jelas aku tak melihatnya, binar yang pernah ada seakan redup. Dia seolah bukan seseorang yang menyemangatiku setahun terakhir. Membuatku tertawa, menemani hari-hariku.
Kau: "Aku sadar aku salah, Ka. Harusnya aku gak berlebihan, harusnya aku gak ngebiarin diriku main-main selama ini?"
Plak.. Aku menamparnya dengan perasaan terluka. Bisa-bisanya ia berkata bahwa selama ini ia hanya main-main denganku. Hatiku merasa sangat sakit.
Kau: "Maafkan Aku, Ka. Aku benar-benar harus pulang kampung sekarang, istriku akan segera melahirkan."
Aku menutup mulut seraya terus menangis tersedu, tubuhku lelah. Pikiranku ruwet. Aku kacau sekali.
Kau: "Perlu kau tau, Ka. Kadang cantik itu luka. Aku tertarik padamu bahkan saat aku sudah punya keluarga hanya karena kau cantik, dan membuatku hampir melupakan keluargaku. Tapi pada akhirnya aku harus tetap pergi. Karena bagaimanapun istriku juga perempuan cantik yang padanya dan pada Tuhan aku sudah berjanji untuk menjaga dan membahagiakannya. Maafkan aku, Ka. Semoga setelah ini kau belajar untuk membuat cantikmu itu tak jadi luka yang menusukmu sendiri."
"Selamat tinggal Ka," ucapmu.
Dan aku hanya terus menangis tersedu menatap punggungmu yang semakin menjauh.
--End--By: Winda Khoirin Nissa
Majalengka, 14 Juli 2018