"Pagii Din.. "
Kamu menyapaku dengan semangat pagi itu. Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis membalasmu.
"Sudah siap jadi partnernya Ardian?" Tanyamu bersemangat.
"Semoga kau tak akan menyesali usahamu menyeretku kesini." Ucapku datar. Rasanya semua masih seperti mimpi bagiku.Namaku Dinda Salsabila, salah satu mahasiswa tercuek di fmipa. Meski begitu, aku tetap memaksa diriku ikut organisasi himpunan mahasiswa fakultas mipa. Menjadi anggota yang gak terlalu aktif tapi juga gak kelihatan pasif.
Menjadi anggota BEM sama sekali tak terpikirkan olehku. Sejak peristiwa penurunan drastis nilai-nilai akademikku yang disebabkan terlalu sibuk mengurus OSIS, aku menjadi tak begitu ambis dalam orginasasi. Fokus utamaku adalah mempertahankan nilai dan lulus cepat. Tapi sejak Rere mendaftarkanku secara diam-diam di keanggotaan BEM, semuanya tak lagi berlangsung sesuai rencanaku.
Namanya Ardian Nugraha. Ketua Himpunan yang punya pesona. Tampan? Lumayan. Pinter? Gak usah ditanya. Ramah? Asli, aku hampir gak bisa bedain dia ramah atau emang petakilan. Tapi juga bisa cool dan keren banget di waktu-waktu tertentu.
Sebenarnya aku gak terlalu kenal sama Ardian, walau aku termasuk salah satu anggota alias bawahannya, aku yang terkenal cuek ini emang jarang banget ngomong, alhasil gak nyambung kalau deket dia yang orangnya cair.Saat itu suatu hari di mana aku sedang sibuk di perpustakaan, tiba-tiba Ardian datang dengan santainya. Menyapa basa-basi, lalu sok akrab dan mengajakku berbicara serius. Aku yang sedikit penasaran, langsung mengikutinya keluar karena tak mungkin kita berbicara di perpustakaan.
Saat itu, kita ngobrol di kantin, dan to the point dia langsung bilang mau mengajakku jadi partnernya dalam pencalonan dirinya menjadi ketua BEM. Aku berusaha mengelak saat itu, memberikan berbagai macam alasan untuk menolak. Tapi aku akhirnya tahu bahwa seorang Ardian tak pantang menyerah dan tak bisa dibantah. Saat itu entah apa yang membuatku luluh, aku akhirnya bersedia menjadi Calon Wakil ketua BEM.
Pesona Ardian mungkin memang bukan rahasia lagi. Ia menang telak dari lawannya. Ardian Nugraha resmi menjadi Ketua BEM, orang paling terkenal di kampus. Dan Tuhan Maha baik dengan membuatku ikut tenar karena menjadi Wakil dari seorang Ardian.
Hampir sebulan berlalu aku menjadi partner Ardian, dan selama itu aku merasa tidak terlalu buruk. Dia bisa mengerti ketika aku tak bisa ikut rapat karena sibuk mengerjakan tugas atau aku yang untungnya selalu sigap menggantikannya ketika ia berhalangan hadir.
Waktu terus berlalu, ketika rasanya aku semakin merasa lelah. Bukan saja karena menumpuknya tugas dari dosen, atau padatnya kegiatan yang harus ku urus. Tapi juga hatiku yang mulai rentan. Entah apa yang membuatku tiba-tiba sering tak konsen bila harus berdiskusi atau mengerjakan sesuatu hanya berdua dengan Ardian.
Perhatiannya yang dulu kuanggap biasa, kini terasa semakin gencar membuatku hilang fokus. Tatapannya, senyumnya, dan jangan lupakan kelakuannya yang suka seenaknya merangkulku ketika kita berjalan bersisian.Sebelumnya, aku hanya menganggap itu biasa. Aku benar-benar berhasil tidak terpengaruh pada pesonanya yang memikat. Tapi lama kelamaan, bentengku roboh juga, apalagi ketika aku peka pada perubahan sikapnya yang tambah membuatku baper. Misalnya, tiba-tiba menelepon lalu bilang 'cape nih, nyanyi dong biar gue semangat buat event besok' atau 'Din, doain gue ya, besok gue ujian' atau juga 'Dinda, gak cape apa cuek mulu sama gue. Gue masih nunggu lho.'
Aku sebenarnya gak terlalu yakin dengan omonganya yang entah tulus, atau cuman niat mau modus.
Semuanya terasa semu, terlalu abu-abu.
Karena meskipun ia pernah mengatakan 'aku khawatir, aku peduli sama kamu' aku harus selalu menerima kalau setelahnya dia berucap 'karena kamu partner terbaikku.'Dan aku tak lagi peduli, ketika suatu hari dia bisa membaca sorot mataku yang menatapnya khawatir saat ia jatuh sakit. Dia tersenyum sangat tipis, lalu berkata lirih.
'Terima kasih Din, maaf membuatmu kacau dengan perasaanmu padaku. Tapi kumohon jangan tinggalkan aku, meski nyatanya aku belum bisa memiliki perasaan tulus yang sama seperti yang kau punya.'Mungkin inilah yang dinamakan tak punya rasa tapi enggan kehilangan.
By: Winda Khoirin N
Majalengka, 06 Juni 2018