Kamar bernuansa baby blue itu sudah seperti kapal pecah saat ini. Baju berserakan di lantai kamar dan tak lupa dengan dentuman keras musik yang menggema di kamar itu. Sedangkan sang pemilik kamar sedang menatap pantulan dirinya di cermin sepanjang tubuhnya di kamar itu.
"Kalo pake ini gimana ya?" gumamnya sambil memutar tubuhnya yang terbalut celana pendek di atas lutut dan kaus oblong putih.
"Terlalu terbuka, bakalan dihukum Raga lagi nanti," lanjutnya lalu berjalan ke arah baju yang berserakan di ranjang king size yang berada di kamar itu.
Dahinya berkerut melihat baju yang sangat amat berantakan di depannya ini.
"Hah ...." Siska menghela napas pelan lalu mengambil celana jeans dengan sobekan di bagian lutut dan kaus oblong berwarna putih, dengan jaket yang serupa dengan celananya.
Berjalan ke arah walk in closet, sekitar kurang lebih sepuluh menit Siska keluar dengan menggunakan pakaian yang tadi ia bawa. Rambut cokelatnya ia biarkan tergerai.
Lagi-lagi ia memutar tubuhnya di depan cermin sepanjang dirinya. Siska tersenyum puas melihat pantulan dirinya.
"Ah Siska, lo emang cantik banget, ya?" pujinya untuk diri sendiri.
Siska melirik ke arah jam yang menempel pada dinding kamarnya. Pukul 18:15, masih tersisa 45 menit sebelum Raga menjemput dirinya.
Siska membalikkan tubuhnya dan betapa terkejut dirinya menemukan baju yang berserakan di mana-mana. Siska menghela napas pelan, memilih menghabiskan waktunya untuk membereskan kekacauan yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri. Siska tak menyangka, memilih baju dapat membuat kamarnya berubah menjadi kapal pecah.
Waktu menunjukkan pukul tujuh tepat ketika Siska baru saja selesai mengecek ulang penampilannya. Baru saja ia ingin melangkah keluar kamar, teriakan ibunya sudah terdengar hingga ke dalam kamar.
"Siskaa! Raga udah sampe nih!" teriak Salma, Mami Siska.
Siska terkejut mendengar teriakan Maminya, Siska yakin jika ada lomba teriakan terkencang pasti Maminya akan menang juara satu.
Siska menepuk tangan dua kali untuk mematikan musik yang menggema di kamarnya. Siska berjalan menuruni tangga mansion milik keluarganya, mata Siska melihat Raga yang sedang berbincang dengan Maminya dan tak lupa dengan senyum manis yang terus terukir di bibir miliknya.
Siska mendengus melihatnya. Bagaimana bisa Raga tersenyum dengan mudahnya pada orang lain sedangkan dirinya hanya diberikan wajah datar dan aura hitamnya?
Benar-benar tidak adil, pikirnya.
Mau berapa kali pikiran itu terlintas pun Siska tidak akan pernah berani melontarkan protes.
Siska sudah sampai di ruang tamu, tempat Raga dan Maminya berbincang. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari keberadaannya.
Siska menganga tak percaya. Sebenarnya siapa pacar Raga? Maminya atau dirinya?
"Ekhm!" Siska berdeham mencoba menyadarkan Raga dan Maminya dari dunia mereka.
"Eh Siska, udah di bawah aja." Seakan tersadar dari dunianya dengan Raga. Salma bertanya dan tersenyum pada Siska.
"Iya, Mih. Udah sampe di bawah dari tadi," jawab Siska sambil menghela napas bosan.
Raga dan Salma yang semula duduk bangkit dari duduk mereka.
"Ya udah, Tante. Raga sama Siska berangkat dulu, ya," pamit Raga pada Salma sambil tersenyum.
"Iya, jagain Siska ya, Raga. Tante percaya sama kamu," balas Salma juga dengan senyum hangat miliknya.
"Iya, Tante. Ayo, Siska."
Setelah berpamitan pada Salma, Siska dan Raga berjalan ke luar mansion keluarga Wijaya.
Motor merah Raga terparkir rapi di pelataran mansion.
Siska dan Raga berjalan ke arah motor merah Raga.
Raga memberikan helm pada Siska, tanpa diperintah Siska segera memakai helm yang di berikan Raga. Raga juga memakai helm dan menaiki motor merahnya lalu menyalakan mesin motornya.
Siska menaiki motor Raga lalu memeluk pinggang Raga.
Raga menjalankan motornya, satpam mansion Siska sudah membukakan pintu gerbang mansion.
Motor merah Raga menembus jalanan malam ramai Kota Jakarta. Malam ini sangat ramai walupun bukan malam Minggu, memang bukan malam Minggu, hanya malam di mana besok adalah tanggal merah.
Siska mengeratkan pelukannya saat Raga menaikan kecepatan motornya.
Tak ada pembicaraan di antara Siska dan Raga. Mereka sama-sama diam dalam kegiatan masing-masing.
Setelah perjalanan sekitar 15 menit, Siska melihat pasar malam yang sangat ramai.
Mulai dari biang lala, kora-kora, rumah hantu dan permainan lainnya.
Siska juga melihat banyak pedagang kaki lima di pasar malam itu, dan pandangannya tertuju pada pedagang permen kapas berwarna merah muda.
Ngomong-ngomong soal rumah hantu, Siska bergidik ngeri melihatnya.
Terlalu asik memperhatikan permen kapas berwarna merah muda itu, Siska sampai tidak sadar Raga sudah memarkir motornya.
Siska turun dari motor lalu mencopot helm yang ia pakai, memberikan helm itu pada Raga lalu memperhatikan sekeliling.
Sangat ramai dan banyak yang memekik tertahan saat melihat wajah Raga.
Oh ayolah, Siska sudah sangat bosan dengan hal ini.
Seakan tak peduli, Raga hanya memasang wajah datar lalu menarik tangan Siska menuju wahan rumah hantu.
Saat sampai di depan wahan rumah hantu, sudah banyak sekali yang mengantri untuk memasuki wahan itu.
Sedangkan Siska, wajahnya sudah pucat pasi melihat boneka yang tergantung di atas atap wahana rumah hantu itu.
"Raga, kita jadi masuk ke dalam sana?" Siska bertanya memastikan.
Raga yang mendengar pertanyaan Siska mengembangkan seringainya, membuat lagi-lagi perempuan yang melihat ke arahnya memekik tertahan.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Psychopath Boyfriend [ END ]
Teen FictionTersedia di toko buku kesayangan Anda. Sometimes, my hands are itching to kill someone, but I have promised my dear ones not to kill anymore -Raga Dirgantara. Karena suatu tragedi Siska kini berakhir menjadi kekasih Raga Dirgantara, seorang psikop...