"Iya, kita jadi masuk ke dalam sana." Seringai Raga mengembang saat mengucapkan itu.
Keringat dingin membanjiri tubuh Siska, tak lupa dengan wajahnya yang sudah berubah menjadi pucat pasi.
Rumah hantu itu memiliki dua lantai, di bagian atapnya tergantung boneka yang menyerupai kuntilanak dengan darah di sepanjang baju putih yang boneka itu kenakan. Rumah hantu itu tampak lebih menyeramkan dengan suara-suara menakutkan yang sialnya suara itu terdengar sangat kencang.
"Ga, kayaknya kita naik biang lala aja deh," ujar Siska mencoba bernegosiasi.
"Aku maunya masuk ke dalam sana, Siska," sahut Raga tenang.
"Itu ramai banget yang ngantri, Ga. Mau jam berapa kita masuk ke dalam sana?" Tak mudah menyerah, Siska kembali merayu Raga agar tak jadi masuk ke dalam wahana menyeramkan itu. Bagaimanapun juga ia takut dengan hal-hal berbau horor seperti ini, walau pun ini hanyalah sebuah tipuan semata.
"Masuknya bareng-bareng kok, coba tuh kamu liat. Udah ah aku mau beli tiket masuknya dulu," jawab Raga sambil menunjuk orang-orang yang sudah selesai mengantri lalu masuk secara bersamaan. Raga melenggang pergi menuju stand penjual tiket masuk wahana rumah hantu tanpa memperdulikan Siska.
Siska masih diam di tempat dengan perasaan gelisah, sesekali memejamkan mata saat mendengar sura menyeramkan dari dalam wahana rumah hantu itu.
Sementara Raga yang masih mengantri mengamati Siska yang sesekali memejamkan matanya.
Tiba-tiba ponsel Raga bergetar bertanda bahwa ada seseorang yang menelpon dirinya. Raga mengeram rendah merasakan getaran di ponselnya.
Siapa yang berani mengganggu quality time-nya bersama Siska?! pikirnya.
Raga mengambil ponselnya dari saku celananya, dahinya berkerut saat melihat nomor telpon tidak dikenal.
"Halo."
"Hey, Bro!"
"Anda siapa?"
"Gue Rico, Ga! Masa lo lupa? Temen masa kecil lo yang pindah ke New York!"
"Rico. Lo udah balik ke Jakarta?"
"Ck! Lo bener-bener gak berubah ya! Masih tetep dingin. Iya, gue udah balik ke Jakarta, gue mau main ke rumah lo nih, Ga. Boleh kan?"
"Hm, besok aja sekarang gue lagi pergi."
"Gitu ya. Gue ke rumah lo malam ini aja deh, Ga. Kangen sama Daddy apalagi Mommy."
"Mommy sama Daddy lagi kerja, Rico. Mungkin mereka lagi di luar kota atau luar negeri sekarang."
"Tadi gue udah telpon Mami sama Papi. Mereka bilang, mereka lagi ada di rumah."
"Ok whatever. Gue tutup telponnya."
"See you, Honey."
Pip
Sambungan telepon terputus. Sebenarnya Raga sangat merindukan teman masa kecilnya itu, oh tidak, bukan teman melainkan sahabat.
Raga mendengar panggilan 'Honey' dari Rico membuat dirinya mual sendiri.
Rico sudah dianggap seperti keluarga bagi Raga dan keluarga besarnya. Orang tua Rico sangat cuek terhadap Rico, mereka lebih mementingkan pekerjaan dari pada mengurus Rico. Raga bahkan sudah menganggap Rico sebagai adiknya sendiri, karena memang umur Raga dan Rico terpaut beberapa bulan, Raga lahir di bulan April sedangkan Rico lahir di bulan November.
Siska mengerutkan dahinya saat Raga menerima telepon dan tak lama senyum tipisnya mengembang, sangat tipis, hingga jika tidak benar-benar diperhatikan senyum tipis itu tidak terlihat.
Siska berpikir, siapa yang menelpon Raga? Mami atau Papi Raga tidak pernah membuat Raga sampai tersenyum seperti itu jika mereka menelpon Raga, tetapi Siska tidak mau berburuk sangka, mungkin memang Mami atau Papi Raga yang menelpon.
Raga menghampiri Siska setelah selesai membeli tiket untuk masuk ke dalam wahana rumah hantu itu.
Pengunjung yang tadi masuk secara bersamaan sudah keluar dari wahana rumah hantu itu. Bermacam-macam ekspresi yang mereka tunjukan. Ada yang hampir menangis, sudah menangis, seluruh tubuh bergetar bahkan ada yang tertawa terbahak-bahak.
Bulu kuduk Siska terangkat melihat seseorang yang tertawa terbahak-bahak itu. Apakah ia kerasukan? pikir Siska.
"Sekarang giliran kita yang masuk." Raga menarik tangan Siska untuk segera memasuki wahana rumah hantu itu. Namun, Siska menahan tubuhnya agar tidak tertarik oleh tarikan Raga di tangannya.
"Raga, aku takut, Ga." Siska berujar lirih dan dengan wajah memelas. Lebih baik menjatuhkan harga diri untuk saat ini dari pada menyesal saat nanti sudah bertemu dengan hantu-hantu menyeramkan.
Wajah Raga berubah datar seketika, dan Siska menyadari hal itu. Ia menghela napas lalu menarik tangan Raga untuk berjalan memasuki wahana rumah hantu itu. Tanpa sadar Raga mengembangkan senyum kemenangannya, ia yakin Siska pasti akan takut saat melihat wajah datar dan nada bicaranya yang berubah dingin, dan dugaannya benar. Baru saja ia menunjukkan wajah datarnya, Siska langsung menarik tangannya untuk memasuki wahan rumah hantu itu.
Satu kata yang dapat Siska ucapkan saat memasuki rumah hantu ini, menyeramkan.
Bau Melati menyeruak ke dalam hidung Siska saat Siska baru memasuki rumah hantu itu.
Dan lagi-lagi keberanian Siska menciut seketika.
"Siska, naik tangganya, yang lain udah pada nunggu," ujar Raga.
Dan benar saja, saat Siska menengok ke belakang, sudah banyak orang lain yang ingin naik ke atas tangga.
Perlahan, Siska mulai menaiki anak-anak tangga, dan saat sudah sampai atas ia bisa bernapas lega, tidak ada hantu apapun yang mengejutkannya.
Pengunjung lain wahana ini pun sudah naik ke lantai dua, saat sampai di lantai dua Siska terus di dorong Raga untuk menyusuri lorong gelap berbau melati ini.
Hingga akhirnya, ada sebuah tangga untuk turun ke lantai pertama, tetapi berbeda tangga dan sepertinya berbeda ruangan.
Pengunjung lain sudah lebih dulu turun, menyisakan Siska dan Raga.
"Siska, turun duluan," ucap Raga.
Siska hanya mampu menuruti perintah Raga, hingga anak tangga terkahir dan Siska sampai di lantai pertama. Lantai pertama ini jauh lebih menyeramkan dari lantai pertama Siska masuki dan di lantai dua.
Siska menengok ke kanan dan ke kiri dengan was-was, ia juga melihat ke arah atas, kenapa Raga tak kunjung turun? Dan ternyata Raga menghilang bak di telan bumi.
Siska tersentak saat bahunya terasa di sentuh oleh seseorang. Saat Siska menengok ke arah belakang ada seorang hantu kuntilanak dengan rambut panjang menutupi wajahnya dan darah di sekitar baju putihnya.
"HUWAAAA, RAGA!"
Siska mencoba berlari, tetapi hantu-hantu lain kian bermunculan di setiap sudut.
"RAGA, KAMU DI MANA?! HUWAAA HIKS ...."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Psychopath Boyfriend [ END ]
Fiksi RemajaTersedia di toko buku kesayangan Anda. Sometimes, my hands are itching to kill someone, but I have promised my dear ones not to kill anymore -Raga Dirgantara. Karena suatu tragedi Siska kini berakhir menjadi kekasih Raga Dirgantara, seorang psikop...