39

331K 17.7K 1.1K
                                    

Semenjak kematian Dita, kini Siska berubah menjadi lebih pendiam. Ia lebih sering termenung tanpa memikirkan apapun. Rasa bersalah selalu melingkupi ulu hatinya saat melihat foto ia bersama ketiga sahabatnya, yang tentu saja bersama Dita.

Siska selalu menyalahkan dirinya atas kematian Dita. Karena dirinya Dita dibunuh, karena dirinya Dita mati, hal itu terus memenuhi isi kepalanya. Siska juga sering kali dihantui dengan mimpi-mimpi buruk. Semua orang datang menyalahkannya atas kematian Dita.

Namun, baik keluarga besar Dita dan ketiga sahabatnya tak pernah menyalahkan Siska atas kematian Dita, tentu saja karena mereka tak tahu alasan dari dibunuhnya Dita. Tapi, jika mereka semua mengetahui itu, itu juga bukan kesalahan Siska. Dita yang tanpa sengaja mendengarkan pembicaraan Siska dan Raga sehingga ia mengetahui bahwa Raga adalah seorang psikopat.

Siska bimbang, ia kerap kali curgia bahwa Raga yang membunuh Dita, namun mengingat penjelasan Raga, dirinya jadi merasa bersalah karena telah menuduh Raga.

"Siska, makan dulu sini, gue suapin. Dari pagi lo belum makan." Siska tersentak dari lamunannya saat Raka tiba-tiba datang dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur di atasnya juga segelas air putih.

Siska hanya memperhatikan Raka dalam diam. Siska bergeming dalam duduknya di atas ranjang, hanya matanyanya yang terus mengikuti pergerakan Raka.

Raka duduk di pinggir ranjang, lalu mulai menyendokkan Siska bubur.

"Lo jangan begini dong, Sis. Kematian Dita itu bukan salah lo, ok? Jadi berhenti buat nyalahin diri lo sendiri." Raka mulai menyuapi sendok yang sudah berisi bubur itu ke dalam mulut Siska. Siska hanya menerima suapan itu dalam diam.

Siska seperti patung saat ini, tidak bergerak apabila tidak diperlukan dan tidak membalas ucapannya atau berbicara sedikitpun. Raka tak tahan dengan ini semua. Ia meletakkan mangkuk bubur di meja nakas dengan kasar, lalu menangkup wajah Siska dengan kedua tangannya.

"Siska! Sadar!" Raka berteriak di depan wajah Siska dengan raut wajah yang tidak dapat dijelaskan.

Ini semua karenanya, ia yang membunuh Dita. Ia tak memikirkan risiko yang terjadi apabila ia membunuh Dita untuk menyingkirkan bukti orang lain tahu bahwa Raga adalah seorang psikopat.

Raka menarik Siska dalam pelukannya, ia menangis di pundak Siska dengan tersedu-sedu. Ia tak menyangka adiknya akan berubah menjadi seperti ini. Ia telah melenyapkan salah satu sumber kebahagiaan Siska, padahal ia melakukan ini demi membuat Siska bahagia, namun ia salah. Tak seharusnya ia gegabah dalam melakukan sesuatu, tak seharusnya ia membunuh Dita tanpa memikirkan banyak risiko yang akan terjadi.

Raka menyesal, ia sangat menyesal atas perbuatannya. Namun ia sadar, bahwa menyesal pun tak akan membangkitkan Dita dari kematiannya.

Seakan tersihir oleh tangisan Raka, Siska membalas pelukan Raka dengan tangan bergetar. Tangannya ia ulurkan untuk mengusap punggung lebar Raka.

"Jangan nangis," lirih Siska.

Tangis Raka semakin tersedu-sedu saat mendengar ucapan lirih Siska. Perasaan bersalah melingkupi hatinya, ia menyesal. Sangat.

Siska melepaskan pelukannya dari tubuh Raka. Jari-jari lentiknya menghapus air mata Raka yang terus berjatuhan dari kedua mata tajam itu.

Raka sangat lemah dengan orang-orang yang ia sayangai. Ia tak mau mereka terluka seperti yang dirasakan Siska saat ini.

"Jangan nagis, Kak," lirih Siska. "Gue gak pa-pa." Bibir merah Siska yang saat ini tampak pucat mengecup kedua mata tajam Raka.

"Jangan kayak gini lagi, tolong. Jadi Siska yang dulu lagi. Siska yang selalu ceria," ucap Raka dengan suara seraknya, pandangannya ia pusatkan pada kedua mata Siska.

Sweet Psychopath Boyfriend [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang