Jutaan liter air meluncur jatuh dari langit, seakan berlomba-lomba tercepat jatuh ke tanah.
Matahari pun sepertinya enggan menunjukkan dirinya di antara awan-awan yang berada di atas langit.
Hawa dingin terasa menusuk tulang, apa lagi jika langsung bersentuhan dengan kulit telanjang, pasti akan ada sensasi yang tak terduga.
Mungkin orang-orang akan memilih menghangatkan tubuh mereka di bawah selimut hangat atau meminum secangkir cokelat panas untuk meredakan hawa dingin, namun di sebuah balkon mansion mewah terdapat seseorang berdiri dengan menjulurkan tangannya di bawah rintikan hujan, membiarkan air hujan membasahi kulit tangannya dan rasa dingin menembus kulitnya.
Kepalanya tertunduk, memikirkan hal yang terjadi pada dirinya akhir-akhir ini.
Perasaan senang bercampur sedih melingkupi ulu hatinya.
"Mencintai dalam diam itu ternyata gak seburuk yang gue bayangkan," lirihnya.
"Iya gak seburuk yang gue bayangkan, tapi lebih buruk dari itu." Tawa hambar meluncur dari mulutnya setelah mengucapkan kalimat itu.
Mencintai dalam diam itu memang sulit. Rasanya saat melihat Ia tertawa saja sudah membuat tersenyum. Gerak geriknya pun tak luput dari pengawasan sang pencinta dalam diam.
Mencintainya dalam diam, menyayanginya dalam diam, dan memperhatikannya dalam diam saja rasanya sudah senang bukan kepalang.
Rasanya selalu ingin berada di sampingnya dan mengungkapkan isi hati sejujur-jujurnya namun, ah sudahlah.
Mendongakan kepalanya lalu berjalan perlahan masuk ke dalam manison.
Sorot matanya memancarkan kelelahan dan kesedihan dan alangkahnya lungai seperti tak bertenaga, sungguh miris.
Sementara di sebuah apartemen kecil ada dua orang insan yang saling bergulung di dalam selimut yang sama. Kedua orang itu adalah Siska dan Raga.
Setelah selesai mengerjakan pr-nya hujan turun tanpa malu dengan derasnya. Tak jarang petir berbunyi saling sahut menyahut.
Siska sebenarnya menyukai hujan namun Ia tak suka mendengar suara petir yang menurutnya sangat menakutkan.
"Raga," panggil Siska. Ucapannya teredam karena wajahnya tepat berada di depan dada Raga.
"Hm?"
"Raga ayo beli seblak, pengen."
"Enggak."
Siska cemberut dalam dekapan Raga. "Raga ishh. Sekali aja, ayo!" rengek Siska.
"Enggak."
"Raga ish! Nyebelin banget!"
"Biarin."
Raga melepaskan pelukan Siska lalu bangkit dari ranjang.
"Raga, mau ngapain?" Tanya Siska bingung melihat Raga mencari sesuatu di lemarinya.
Raga menengok. "Bukannya kamu mau beli seblak? Jadi gak? Kalo gak jadi aku mau tidur."
Senyum semringah Siska terukir di bibir Siska, matamya berbinar mendegar ucapan Raga. "Jadi kok! Ayo, ayo!"
Siska bangkit dari tidurnya lalu menghampiri Raga yang sibuk mencari sesuatu di lemari.
"Raga kamu cari apa, sih?" Tanya Siska bingung.
Raga hanya diam. Ternyata Ia mengambil dua pasang jaket couple berwarna hitam.
Masih dengan diamnya, Raga memakaikan jaket yang Ia ambil dari lemari ke tubuh mungil Siska.
"Raga ah, aku gak mau pake jaket, nanti gerah," rengek Siska, lagi.
"Ini lagi hujan, Siska. Yang ada kamu kedinginan bukan kegerahan," jawab Raga sambil menarik resleting jaket Siska sampai sebatas leher.
"Tapi kanㅡ"
"Pake atau gak jadi pergi?" tanya Raga dengan wajah datarnya. Ia mulai jengah dengan rengekan Siska. Padahal Ia hanya tak ingin Siska sakit.
"Iya jadi," jawab Siska lesu. Lebih baik Ia memakai jaket dari pada tidak jadi beli seblak kesukaanya.
"Yaudah, ayo!" Ajak Raga.
"Ayo!"
Tadi sesudah memakaikan Siska jaket dan memakai jaket pada dirinya sendiri, Raga mengambil payung berwarna biru muda. Warna kesukaan Siska.
Mereka keluar dari apartemen dengan Raga yang memeluk pinggang Siska posesif. Raga itu jika sudah dalam mode manja memang terkadang membuat Siska risih.
Risih karena terlalu posesif padanya. Sebenarnya menyenangkan di perhatiankan oleh Raga, tapi terkadang perhatian itu suka berlebihan dan membuat Siska sebal sendiri.
Raga dan Siska berjalan beriringan di trotoar jalan. Tubuh mereka saling berhimpitan agar tak terkena air hujan yang dingin.
Ngomong-ngomong, seblak yang Siska inginkan itu kedainya tak jauh dari apartemen Raga, oleh karena itu mereka hanya berjalan kaki.
Baru-baru ini ada kedai seblak yang buka di dekat apartemen Raga. Sebenarnya Siska sudah pernah mekan di kedai seblak itu bersama ketiga sahabatnya. Dan Raga tak mengetahui itu, kalau Raga tahu, sudah habis Siska.
Siska hanya beralibi jika Ia melihat kedai seblak itu saat perjalanan ke apartemen Raga tadi. Sedangkan Raga hanya mengangguk percaya.
Tiba-tiba di tengah derasnya hujan Siska melihat seekor anak ayam yang kehujanan, badan kecilnya mengigil, mulutnya mengeluarkan suara kecil seakan meminta pertolongan.
Tanpa pikir panjang, Siska langsung berlari menghampiri anak ayam itu. Melepaskan jaket yang ia kenakan lalu mengambil anak ayam itu dan menyelimutinya menggunakan jaket yang ia kenakan tadi.
Raga terkejut dengan hal yang dilakukan Siska. Dengan segera Raga berlari menghampiri Siska yang kini tengah kehujanan.
"Siska, kamu ngapain, sih?!"
"Ada anak ayam, Ga. Kedinginan, kasian." Siska masih berjongkok, kini tubuhnya mulai menggigil kedinginan.
Raga menarik pundak Siska untuk bangkit, melepaskan jaketnya lalu memakainya ke tubuh Siska. Jaket Raga yang besar tenggelam di tubuh mungil Siska.
Raga tau, tak seharusnya ia marah saat ini. Tubuh Siska kedinginan, mereka harus kembali ke apartemen secepatnya dan menghangatkan tubuh Siska juga si anak ayam.
Raga memeluk Siska guna menghangatkan tubuhnya Siska. Ia mulai menuntun Siska untuk kembali berjalan, berbalik arah menuju apartemen.
Bukannya Raga tak ingin naik taxi atau kendaraan umum lainnya. Hujan turun terlalu deras, jalanan pun semakin lama semakin sesak oleh pengendara mobil dan motor, dan juga Raga tak melihat satupun taxi di sini, harus menunggu pun sepertinya lama. Jadi Ia memutuskan untuk berjalan kaki menuju apartemennya.
Siska menyadari bahwa ini bukanlah jalan menuju kedai seblak yang akan mereka kunjungi, melainkan menuju apartemen Raga.
"Raga, kok kita pulang, Ga? Kita kan mau beli seblak," protes Siska dengan suara mengigil.
"Badan kamu mengigil, Siska! Tolong pikirin kesehatan kamu dari pada hal gak jelas itu!" Tanpa sadar Raga membentak Siska.
Tubuh Siska menegang, jalannya pun ikut terhenti.
Raga sadar akan hal itu, Ia menundukkan kepalanya, menatap manik mata Siska yang tampak berkaca-kaca.
"Siska, aku minta maaf. Aku cuma gak mau kamu sakit, Sayang," ucap Raga lirih.
Siska tak merespon apapun.
"Siska, please," ucap Raga memohon.
Setelah itu Siska mengangguk dan menyandarkan kepalanya di dada bidang Raga.
"Iya, Ga. Aku ngerti. Ayo cepet, aku kedinginan. "
Raga tersenyum tipis mendegaru ucapan Siska.
Mereka berjalan dalam jutaan air hujan yang berjatuhan dari atas langit. Membagi kehangatan untuk satu sama lain.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Psychopath Boyfriend [ END ]
Novela JuvenilTersedia di toko buku kesayangan Anda. Sometimes, my hands are itching to kill someone, but I have promised my dear ones not to kill anymore -Raga Dirgantara. Karena suatu tragedi Siska kini berakhir menjadi kekasih Raga Dirgantara, seorang psikop...