34

318K 19K 734
                                    

Siska berjalan dengan langkah lunglai di koridor yang lumayan ramai. Tak ia pedulikan tatapan yang tertuju padanya. Pikirannya kacau, tubuhnya lemas dan yang ia butuhkan saat ini adalah sendiri di tempat yang tenang.

Kaki jenjangnya membawa tubuhnya ke taman belakang yang biasa ia jadikan tempat untuk menyendiri.

Siska sudah tahu siapa pembunuh yang tega membunuh seorang anak laki-laki dengan kejamnya. Siska tidak bodoh, ia tahu semuanya.

Ia lelah mendengar kabar kematian, sungguh. Bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan? Siska sangat merasa bersalah, hatinya terasa tercabik-cabik.

Siska mendudukkan tubuhnya di atas rumput yang terasa dingin karena berembun. Mencoba menarik napas secara perlahan lalu ia keluarkan pula secara perlahan.

Laki-laki itu adalah generasi penerus bangsa. Bisa saja di masa depan ia akan menjadi ilmuan yang terkenal akan kepintarannya atau seorang Presiden yang dapat memimpin sebuah negara menjadi negara yang maju dan makmur.

Siska juga mempunyai alasan tersendiri kenapa kabar duka sangat terasa mencabik-cabik hatinya.

Dulu, saat ia kecil ia mempunyai seekor anjing Siberian husky. Anjing itu ia rawat sejak kecil hingga tumbuh menjadi anjing besar yang kuat dan selalu manja padanya. Anjing itu ia beri nama Bee.

Bee sangat manja padanya, mengikuti kemanapun ia bergerak seperti tak memiliki rasa lelah. Di matanya, Bee sangat menggemaskan. Bee adalah anjing yang penurut, Siska selalu menceritakan semua masalahnya pada Bee, walau hanya dibalas gonggongan dari anjing itu.

Tapi semuanya tak bertahan lama, Bee tertabrak mobil karena ia lalai menjaganya. Siska sempat mogok makan dan menolak keluar dari kamar semala tiga hari karena terpukul akan kematian Bee.

Tak terasa satu tetes air mata jatuh dari mata indahnya. Siska sangat merindukan Bee, sungguh. Ia rindu Anjing kecilnya, sangat.

Grep

Ada seseorang yang memeluknya dari belakang, tanpa pikir panjang, Siska langsung menyandarkan kepalanya pada dada bidang di belakangnya.

"Kamu ngapain di sini, hm?" tanya Raga sembari menghapus air mata yang berada di pipi Siska.

"Kamu nangis? Kenapa?" Raga terus bertanya walaupun ia tahu jawaban dari semua pertanyaannya.

"Ada yang nyakitin, kamu? Biar aku bunuh orangnya." Raga berbisik di telinga Siska, tangannya ia biarkan mengelus-elus surai halus Siska.

"Kamu yang nyakitin aku, Ga," balas Siska pelan.

"Aku? Kalo gitu aku bakal bunuh diri aku sendiri."

"Kamu ngomong apa sih, Ga." Siska memukul lengan Raga pelan.

"Semua yang nyakitin kamu pantas untuk dimusnahkan, termasuk aku," bisik Raga pelan.

"Don't go, i need you."

"I'm here, Baby."

Terjadi keheningan setelahnya. Siska yang nyaman bersandar di dada bidang Raga, memejamkan matanya, dan Raga, ia lebih memilih bungkam dan terus mengelus surai halus Siska.

"Siska, aku minta maaf." Raga berucap memecah keheningan.

"Aku benar-benar stress kemarin, dan aku hilang kontrol, aku gak tau gimana cara ngelampiasinnya selain bunuh orang," jelas Raga panjang lebar, namun dengan suara berbisik.

"Aku minta maaf." Raga berbicara dengan nada tulus di dalamnya.

Siska membalikan badannya, menangkup pipi Raga dengan kedua tangan mungilnya. Menatap sepasang mata tajam itu, yang kini menatapnya dengan pandangan sayu yang tersirat kejujuran di dalamnya.

"Ga, dengerin aku. Sebesar apapun masalah kamu, bunuh orang bukan hal yang tepat untuk ngelampiasin masalah kamu. Banyak orang-orang yang merasa kehilangan dan sedih karena nyawa yang kamu hilangkan." Siska menasehati Raga dengan suara lembut dan tatapan mata yang tertuju langsung pada mata elang Raga.

"Maaf. Aku minta maaf," ujar Raga dengan kepala tertunduk.

"Jujur, aku kecewa sama kamu karena kamu lingkarin janji kamu. Tapi, aku tau pasti sulit buat kamu untuk nahan hasrat gak ngebunuh orang lagi." Siska mengatakan itu sambil terus menatap mata Raga.

"Tapi, aku mohon dengan sangat. Tolong jangan hilangkan nyawa siapaun lagi." Siska mengakhiri ucapannya dengan sebuah kecupan kecil di bibir Raga. Hanya sebuah kecupan, tidak lebih.

Mata Raga mengerjap saat Siska menempelkan bibirnya di bibir miliknya. Hanya sebuah kecupan memang, tapi sangat berefek besar bagi mood-nya hari ini.

"Aku gak janji, tapi aku usahakan," balas Raga mantap.

"Aku pegang omongan kamu," balas Siska, setelah itu ia langsung memeluk Raga dengan erat.

"Jadi, selama ini Raga itu seorang pembunuh?" Tiba-tiba sebuah suara membuat Siska maupun Raga melepas pelukan mereka.

(SEBAGIAN CERITA DI HAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN)

Sweet Psychopath Boyfriend [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang