(Sambungan)

160 18 1
                                    

Semenjak kepergianmu yang diam-diam, secara perlahan membentakku keras-keras untuk menghilang dari namamu. Namun, semua itu sama halnya seperti angka besar yang dihubungkan dengan perkalian nol. Meskipun usaha sudah banyak dilakukan tetapi jika masih memendam cinta yang dalam, hasilnya sudah pasti tetap kelam. Bagiku kau adalah sekumpulan catatan yang hampir membuku di kepalaku, tetapi di kepalamu aku adalah selembar kertas yang tak akan pernah tuntas.

Jujur, mencintaimu secara terang-terangan ternyata menyurutkan rasa yang pernah ada di hatimu. Tenanglah, aku hanya sekedar meyakinkan hatiku dan bertanya kepada diri sendiri. Apa jadinya jika kau tiba-tiba ingin rujuk kembali, memelas kasih. Kurasa aku tak perlu lagi menjulurkan kedua tangan untuk meraihmu bangkit ke hadapanku atau dengan mudahnya aku mengatakan silahkan. Tapi bagiku, memberimu kesempatan kedua kali adalah sesuatu yang membodoh di kepalaku. Tetapi merelakanmu kembali adalah sebuah anugerah meski itu adalah hal yang absurd kurasa. Meletakkanmu pada hal positif di kepala tetap harus kulakukan. Agar tak ada salah paham yang semakin menyebar.

Meskipun pada kenyataannya, tak ada yang salah paham dalam urusan ini, semua terjadi tanpa di rekayasa.

Aku ditinggal begitu saja pergi darimu, dan kau tanpa beban membiarkan aku bertahan dengan separuh hati. Menjungkirbalikkan perasaan yang sudah terpaut nyaman. Membelakangi cinta yang hampir membuta. Wahai, ingin sekali menunjukkan kepadamu bentuk rupa isi hatiku sebenarnya, rongga-rongga yang ada di rusuk bisa jadi sudah membusuk.

Membenamkanmu dalam-dalam adalah sesuatu yang semakin membuatku kelam. Hingga kini kau adalah catatanku yang belum hilang.
.
.
.

Bahkan kehilangan orang yang disayang, akan memenggal sebagian jiwa yang terus melayang.



Mengenangmu SeperlunyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang