Prolog

1.4K 73 3
                                    

13.09.18

-----------

Tanpa suara, teriakanku justru merobek hatiku sendiri, menciptakan guncangan dalam dadaku yang mendobrak benteng ketegaranku.

-----------

Adam

-----------

Aku bersiap di mulut gawang bersama dengan tiga teman sekelas. Sementara itu, empat pemain lawan juga bersiap menghadang sepakan dari sudut lapangan. Bola dieksekusi, melambung ke arah gawang. Semua pemain melompat, menyambut datangnya bola. Kiper lawan terjatuh usai menangkap bola dengan kedua tangannya. Aku juga terjatuh, tak sengaja dadaku tersikut oleh pemain lawan. Aku segera bangkit, bersamaan dengan kiper lawan, langsung menuju ke tengah lapang.

Permainanku semakin loyo. Selain lemas, benturan pada dadaku menyisakan sakit. Napasku juga makin terengah-engah. Aku hanya bertahan sampai lima menit lagi. Merasa tidak sanggup meneruskan, aku berlari ke sisi lapangan, menyuruh teman masuk menggantikan. Riana memberikan sebotol air mineral begitu aku duduk selonjoran di sisinya.

“Kamu loyo sekali, Dam. Biasanya dari awal sampai akhir sprint terus.” Riana berkomentar.

Aku menurunkan punggung, berbaring di rerumputan. “Aku sedang kelelahan, Rian. Seharusnya, aku sudah mencetak hat trick di babak pertama.”

Riana hanya manggut-manggut. Matanya tak lepas mengikuti arah bola. Ia berseru saat teman sekelasnya dijatuhkan lawan. Tendangan bebas untuk tim kelasku. Teman yang menjadi eksekutor  melakukan operan pada temannya yang terpisah beberapa meter. Bola diteruskan dengan sontekan keras. Kiper membloknya. Bola mentah itu disambut oleh teman sekelas yang lain. Tendangannya keras. Sayang, menyamping tipis ke sisi kanan gawang.

“Aish!” Riana berseru kecewa. “Kamu lihat itu, Dam. Hampir saja gol.”

Aku tidak merespons. Rasanya tubuhku benar-benar lemas hanya untuk bangun memastikan.
Bola sepenuhnya dikuasai kiper lawan. Dilemparkannya bola itu ke tengah. Lemparan yang keliru, mendarat tepat di depan teman sekelas Riana. Serangan kembali dibangun oleh teman sekelas, membuat pemain lawan berlarian menutup daerah pertahanannya. Kemelut terjadi. Lagi-lagi, hampir terjadi gol. Tendangan yang dilepaskan ketua kelas sedikit melebar.

“Ya, ampun! Itu tipis sekali.” Riana berseru lagi.

Suara Riana hanya terdengar serupa bisikan di telingaku. Tiba-tiba kepalaku menjadi sangat pusing. Dadaku sakit sekali rasanya setiap aku menarik napas. Perlahan, kudapati sekitar menjadi gelap. Tampilan objek-objek mengabur dalam pandanganku.

Riana menoleh ke samping. Aku melihatnya samar.

“Dam, kamu tidak tidur ‘kan?”

Aku bahkan tak kuasa mengeluarkan suara. Tubuhku benar-benar lemas. Pandanganku sempurna hilang, mataku menutup. Lalu, semuanya menghilang pelan-pelan.

“Dam? Ini tidak lucu, Dam. Ayolah, pertandingan sedang seru!”
Suara Riana semakin tak terdengar. Suara itu menghilang perlahan. Perlahan. Hingga aku tak mendengar apa-apa lagi.

***

-------------

Jangan lupa tinggalkan jejak. Thanks.

See ya.
Love,

Samina

(Edited_9619)

Tomorrow Isn't A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang