Keping 26: Everyone's Part

137 16 10
                                    

Aku terbangun karena suara berisik yang terdengar dari bawah. Mataku mengerjap. Sinar matahari menerabas masuk melalui jendela yang terbuka, silau. Aku memejamkan mata lagi sesaat untuk menyesuaikan pandanganku. Samar-samar, keributan di bawah masih terdengar. Aku menyibak selimut, bergerak menuju pintu.

Setelah keseadaranku penuh, suara orang-orang yang sepertinya tengah bersitegang itu dapat kukenali. Perempuan yang sedang marah-marah itu tidak salah lagi Annabeth. Laki-laki yang sesekali menimpali Wildan. Yang mencoba melerai dengan suara terisak sudah pasti Mama.

“Cukup!” Wildan menyeru tegas. “Lebih baik Anda pulang sekarang juga!”

Aku urung membuka pintu, malas bergabung dalam perseteruan yang dapat dengan mudah menyulut emosiku. Terlebih dengan Wildan yang biasa tenang sampai berucap dengan nada tinggi, pastilah Annabeth membuatnya sangat emosi.

Aku membaringkan kembali tubuhku di atas kasur. Sadarlah aku telah melakukan sebuah kesalahan yang cukup besar. Seharusnya, aku tidak meminta Mama untuk tinggal bersama kami. Walau bagaimanapun juga, Mama akan menjadi sinyal bagi Annabeth untuk berbuat kekacauan; mengusik keluarga kami, menyakiti Mama. Aku tidak tahu sudah berapa kali Annabeth datang kemari untuk mengonfrontasi Mama. Satu yang kutahu, aku tidak boleh membiarkan kejadian ini terulang lagi.

Deru mesin mobil yang terdengar meninggalkan pelataran rumah kami menandakan selesainya kekacauan yang dibuat Annabeth. Selang belasan menit, pintu kamar diketuk. Aku spontan menoleh, seakan dapat melihat orang yang berada di belakangnya tanpa perlu membuka.

“Dam, Mama memanggil untuk sarapan.” Wildan menyembul di balik pintu. Tentu saja, dia tidak sungguh-sungguh berniat mengetuk pintu.

Aku mengangguk padanya, lantas melangkah di belakangnya.

Mama telah menunggu di meja makan. Senyumnya mengembang begitu menemukanku. Tak terlihat bekas-bekas tangis di wajahnya. Entah dengan apa Mama mengatasi matanya yang kukira sempat memerah. Aku membalas dengan menarik tipis kedua sudut bibirku. Kutempati kursiku, di hadapan Wildan. Segera setelah kami duduk, sarapan bersama dimulai.

Aku menunggu Mama atau Wildan mengatakan sesuatu soal kejadian yang baru saja kulewatkan—sebagian besarnya. Tapi, tidak. Hingga aku menghabiskan setangkup roti, tidak ada yang berbicara. Baiklah. Meski enggan, aku berupaya memahami alasan mereka tidak melibatkanku. Aku tahu Mama dan Wildan melakukannya demi kebaikanku, mencoba menjaga emosiku.

Faktanya, aku sudah tahu. Tak dapat kutolak begitu saja rasa benci yang datang karena itu. Aku benci menjadi lemah sehingga orang-orang harus memperlakukanku selayaknya anak kecil yang tak berhak mengetahui masalah penting orang dewasa.

“Dokter Daniel menjadwalkan pertemuan lusa. Katanya, dia ingin mengetahui respons tubuhumu atas imunoterapi. Biar jika ada keluhan yang dirasakan, Dokter Daniel dapat segera memberikan penanganan.” Mama akhirnya membuka pembicaraan setelah kami bertiga menghabiskan sarapan, bukan topik yang ingin kubahas.

Aku menghela napas, menghentikan denyut kebencian dalam benakku. Aku harus pandai bersembunyi sebagaimana Mama dan Wildan melakukannya di hadapanku. “Oke.”

“Dokter Daniel juga menanyakan apakah kamu memerlukan obat lain untuk meredakan sakit.” Mama menambahkan.

Aku menggeleng. Perkara sakit, belakang memang jauh lebih sering menyerang. Kadang, aku mengonsumsi pereda sakit lebih dari tiga kali dalam sehari karena sakit yang sering tidak tertahankan. Obat itu sedikit membantu. Kupikir aku belum membutuhkan dosis yang lebih keras.

“Baiklah.”

Mama beralih dariku. Perhatiannya kini tertuju pada perabotan bekas sarapan kami. Aku hendak bangkit untuk membantu Mama membereskan saat kurasakan nyeri menyapaku kasar. Aku meremas dadaku yang bagai sedang menjadi sasaran beberapa mata pisau, pusat nyeri yang menyebar ke punggung, perut, seluruh tubuhku.  Sebelum ada yang mempertanyakan gesturku, aku lekas naik.

Tomorrow Isn't A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang