13.09.18
---------------------
Adam
-----------
Aku sampai di bandara Heathrow jam enam pagi waktu London. Sengaja memilih jadwal penerbangan malam hari waktu Indonesia agar aku bisa tidur sepanjang perjalan setelah transit di negara tetangga. Nyatanya, aku terjaga sepanjang malam, terus-menerus memikirkan banyak hal.
Kecuali Wildan dan segala hal mengenai sepak bola, aku benci London. Aku tidak pernah menyukai London sejak hari menyedihkan itu. Aku bahkan sempat menentang Wildan yang ingin melanjutkan kuliah di London dan menjanjikan pada diri sendiri bahwa aku tidak akan pernah lagi menapakkan kaki di kota ini. Aku tidak berhasil menangani Wildan yang sejak setahun lalu tinggal di London dan menempuh pendidikan di University College London. Payahnya, aku juga tidak bisa menjaga janjiku sendiri.
Aku bisa mengategorikan perjalanan ini sebagai keterpaksaan sebab aku sungguh tidak menginginkannya. Tidak untuk alasan apa pun. Terlebih, aku tampaknya akan tinggal di London dalam waktu yang lama, mengemas semua kehidupanku yang menyenangkan di Indonesia. Berat sekali melakukannya. Aku terlalu mencintai negara tempat aku dilahirkan. Tapi, aku harus melakukannya. Mati-matian aku membujuk diriku bahwa perjalanan ini adalah sebuah keharusan. Ya, keharusan. Di sinilah aku akan menjalani pengobatan.
Aku tak butuh lama mencari orang yang menjemputku. Wildan tersenyum begitu menemukanku. Aku menghampirinya tanpa merasa perlu mempercepat langkah. Wildan tak tampak mencemaskan sesuatu. Aku yakin bukan karena Mama belum mengatakan apa-apa soal aku. Wildan hanya berusaha menjadi 'kakak yang baik' dengan menunjukkan tampang tegar di hadapanku, dan memang ia berhasil melakukannya.
"Kamu akan menyukai kota ini, Dam. Aku berani bertaruh." Wildan mengambil koperku, berjalan mendahuluiku.
Aku menyusul Wildan, belum berselera menanggapi ucapannya. Topik yang Wildan pilih tidak tepat.
"Sayangnya, ini musim panas. Padahal aku ingin sekali mengajakmu ke Stamford Bridge, Emirates Stadium, atau White Heartlane. Aku yakin, kamu akan bersemangat kuajak ke sana." Wildan antusias.
Di sisinya, aku menatap tak berselera orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar. Liburan begini, bandara besar ini semakin sibuk. Orang masuk dan keluar sama banyaknya. Penerbangan lokal dan internasional, semua penuh. Menilik gaya berbusana mereka, dengan minimal membawa satu koper, kutaksir sebagian besar dari mereka akan atau pulang berwisata. Aku, jangankan berpikir untuk liburan, melangkahkan kaki saja tiada berselera. Aku hilang antusias untuk melakukan apa pun, terutama di sini, di London.
Ibarat musim, aku bukan musim semi yang ceria dengan banyak bunga bermekaran. Aku juga bukan musim gugur yang romantis. Pun aku bukan musim salju yang syahdu. Aku ingin menjadi musim hujan, yang sejuk dan menghidupkan. Sayangnya, aku adalah musim ini. Musim panas dengan kemarau berkepanjangan. Aku kekeringan, gersang. Dan London akan membuat semuanya lebih buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...