Apa kamu masih mencintainya?
Waktu kerap kali menjadi penengah kebimbangan. Masalahnya sekarang, setelah diberi kemudahan oleh waktu untuk memilih, aku justru tidak suka menetapkan sebuah keputusan. Memilih yang sesuai hasratku terasa lebih benar. Namun, aku selalu ingat ada kepentingan yang harus didahulukan sebelum hasrat. Tinggal membujukku untuk ikhlas. Selebihnya, menjadi urusan waktu lagi. Meski menyakitkan pada awalnya, perlahan akan menjadi biasa.
Andaipun aku bulat memutuskan, masih ada yang perlu kuselesaikan ...
Pikiran itu terbentuk bertepatan dengan berhentinya mobil yang dikemudikan Dad. Aku menghela napas. Melupakan yang terlintas di kepalaku, aku membuntuti Dad menuju sebuah gedung yang telah ramai oleh tamu undangan. Semua orang yang hadir berpakaian formal. Tidak berlebihan aku bergaya dengan setelan kemeja berwarna abu-abu ini—ransel berisi tabung oksigen yang bertengger di punggungku terlihat mengganggu sekali.
Pita dan bunga-bunga terpasang di seputar dinding, memperelok ruangan yang luas ini. Gapura kecil berdiri di belakang deretan kursi yang berbaris rapi. Karpet merah terbentang dari belakang gapura hingga ke pelaminan, membelah deretan kursi. Merapat pada dinding sebelah kanan dan kiri, terdapat meja panjang yang penuh makanan dan minuman. Dekorasi ruangan ini meriah, tapi mempertahankan kesan anggun.
Padanganku menjelajah sekitar dan menemukan kursi yang disediakan hampir penuh. Dad hendak melangkah ke deretan tengah saat seeorang meraih tanganku. Catie. Aku dibuat terpukau oleh penampilannya. Walau sudah menyadari betapa cantik pacarku ini, sosok yang berdiri di hadapanku tak bisa berhenti kukagumi. Semua inderaku mendadak lumpuh, kecuali kedua mataku yang menatap tanpa mau berkedip.
Dia mengenakan gaun berwarna perak—ketidaksengajaan memilih warna yang membuat kita tampak serasi. Gaun tak berlengan itu membungkus tubuhnya dengan ketat hingga ke pinggang. Hiasan bunga-bunga melilit pinggangnya. Bagian bawah gaun itu terdiri dari beberapa lapis dan lebih longgar. Ujungnya sedikit melewati mata kaki. Riasan wajahnya sedikit lebih intens dari biasanya yang berhasil membuat matanya semakin memesona. Rambutnya dijepit di sisi kiri dan dibiarkan jatuh melewati bahu sebelah kanannya.
“Kamu cantik sekali, Catie.”
Bukan aku yang melontarkan pujian itu, melainkan Dad. Suaranya menghidupkan kembali seluruh inderaku. Tetap saja, tidak ada kata yang terucap. Keinginanku untuk memujinya berhenti di kepalaku. Aku tidak menemukan padanan kata yang tepat untuk mendeskripsikan kekagumanku.
“Sebelah sini, Mr. Anderson,” Catie mengaitkan tangannya padaku, menuntun kami menuju deretan kursi di bagian depan. Dia mempersilakan kami duduk sejajar dengan ayahnya. Aku merasa terhormat sekaligus bersalah saat duduk di antara catie dan Dad.
“Terima kasih sudah datang, Mr. Anderson,” Mr. Alex menyapa. Mereka melangsungkan obrolan singkat.
Aku menatap ke depan, mengamati Dokter Daniel yang tampak gagah dengan setelah jas berwarna hitam dengan dasi dan hiasan bunga mawar di dada sebelah kirinya. Senyum terus menyala di bibirnya, seolah ingin menunjukkan kepada setiap orang betapa bahagia dirinya saat ini. Terang saja, tepat hari ini, tidak lama lagi Dokter Daniel akan melangsungkan pernikahannya. Ini hari yang akan dia kenang sepanjang hidupnya.
Tak lama setelah seluruh kursi terisi, mempelai perempuan muncul. Dia tampak anggun dengan gaun berwarna putih yang panjang ekornya sekitar dua meter. Kami berdiri saat dia dituntun oleh ayahnya berjalan di atas altar. Catie menelusupkan jemarinya di antara milikku, menggenggam erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...