Keping 23: Pengembara

155 15 6
                                    

Marseille. Tujuh puluhan kilometer dari Paris. Kota yang terletak di tepi tenggara Perancis, menghampar hingga ke pantai. Di sinilah aku berada sekarang. Kota yang tengah dipadati puluhan atau bahkan ratusan ribu turis dari segala penjuru dunia. Kota yang sedang berpesta menyambut kesatria-kesatria penakluk si kulit bundar. Di kota ini, di Stadion Orange Velodrome, dalam hitungan jam akan tersaji perang strategi, teknik, dan kemampuan—ditambah dengan sedikit keberuntungan—antara dua negara sepak bola, Jerman melawan Perancis dalam perebutan tiket final Piala Eropa.

Aku adalah pengkhayal. Semuaya yang kutulis dalam Dream Book sudah pasti pernah kukhayalkan sebelumnya. Menonton pertandingan Piala Eropa merupakan salah satunya. Namun, sekali lagi aku keliru—ah, aku selalu keliru. Jika yang kurasakan saat berkhayal menonton salah satu laga terakbar di dunia ini hebat, luar biasa, yang kurasakan saat ini kupastikan sepuluh kali atau seratus kali lipatnya. Aku berterima kasih sekali kepada Adam yang mengurus dan membiayai perjalanan ini.

Aku tidak berhenti tersenyum demi mengamati sekitar. Bendera-bendera negara peserta Piala Eropa berkibar di mana-mana. Pedagang dadakan berjamuran. Jalanan padat.  Orang-orang dari berbagai negara mendandani diri mereka dengan atribut negara yang mereka dukung. Beberapa kelompok orang bahkan tak segan bernyanyi sambil konvoi menuju Orange Velodrome. Mereka menggugahku untuk bergabung, berbagi semangat dengan kelompok pendukung Tim Panser walau aku tidak dapat memahami lagu yang mereka nyanyikan dengan begitu bersemangat. Setidaknya, aku bisa ikut bertepuk tangan.

“Berani taruhan?”

Eh? Aku menoleh Adam yang berdiri di sampingku.

“Kalau Jerman menang, topi ini milikmu.” Adam menunjuk topi Mesut Özil-nya dengan seringaian tipis. Dia mengenakan topi itu setelah mengenakan topi rajutan hitamnya.

“Siapa takut. Jerman punya catatan bagus lawan Perancis. Wanii!”

Dia semakin mendorong kedua sudut bibirnya ke atas. “Kalau Jerman kalah ...” sedetik. Dua detik. Tiga detik. Adam menerawang sekitar dengan kening berkerut, berpikir keras. “Nanti kupikirkan.”

“Curang! Kamu yang memutuskan keduanya dan masih perlu banyak berpikir. Enak sekali.”

“Memangnya ada yang lebih kamu inginkan dari topi ini?” Adam sekali lagi menunjuk topinya, kali ini dengan senyum jahil khasnya.

Benar juga. Topi itu sudah merupakan hadiah yang sangat keren. Aku akan menerimanya dengan senang hati.

“Nah. Kalau begitu sudah diputuskan.”

Aku hanya memutar bola mata. Dia menang. Dia selalu mudah menang dariku. Anehnya, kalah darinya adalah satu-satunya kekalahan yang mudah kuterima dengan lapang dada, bukti bahwa kekalahan tidak selalu menjanjikan derita, tetapi juga bisa membawa sedikit kebahagiaan. Siapa yang mengalahkan memang memegang peranan penting dalam memberi dampak yang dirasakan.

“Ngomong-ngomong, aku tidak masalah jika kamu mau minta tolong untuk membawakan ranselmu.” Aku menunjuk ransel tabung oksigennya.

Adam tidak mengatakannya, tapi aku tahu dia cukup kepayahan berjalan sambil menggendong beban yang cukup berat di punggungnya, serta menggeret satu tabung lainnya. Ya, dia membawa lebih dari satu tabung karena menurutnya, satu tabung oksigen yang dia gunakan akan habis setelah lima jam. Setidaknya, jika kehabisan sebelum menemukan tempat untuk mengisinya, dia dapat menggunakan yang satunya.

“Kamu bawa ini saja.” Bukan ranselnya yang dia serahkan padaku, melainkan tasnya yang dapat diseret.

“Aku mau yang itu,” pintaku meski tetap menyeret tas yang sudah dia berikan padaku.

“Kamu ingin membuat kita terhubung sehingga tidak bisa dijauhkan?” Adam bertanya dengan seringaian yang membuatku menundukkan wajah.

Aku sama sekali tidak memikirkannya. Benar juga, nasal kanula itu terhubung langsung dengan tabung oksigen di dalam ranselnya. Artinya, jika aku yang menggendong ranselnya, aku tidak akan bisa menjauh lebih dari satu setengah meter darinya.

Tomorrow Isn't A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang