Aku melangkah keluar dari ruangan kemoterapi bersama Wildan dan Catie di kanan dan kiriku. Ransel oksigenku digered oleh Wildan. Aku masih saja merasa sangat lelah. Kusempatkan beristirahat, duduk di kursi yang pertama kutemui.
"Kamu sudah memutuskan?" Wildan memecah senyap, membuat perhatianku teralih padanya.
"Apa?"
"Yang kita bicarakan beberapa waktu lalu. Kupikir beberapa temanmu perlu mengetahui kondisimu."
Aku segera menarik kembali wajahku, menggeleng. "Tidak, Wil. Tidak ada lagi yang perlu tahu. Sudah cukup aku membebani orang lain, oke?"
"Kita tidak merasa dibebani, Dam," Catie menyangkal.
Adam meliriknya, melihat ketulusan terpancar di matanya. "Tapi, aku merasa begitu. Please!"
"Baiklah." Kudengar mereka mengucap bersamaan.
Aku mendesah. Bahasan Wildan sama sekali tidak menarik. Pertanyaannya sangat tidak perlu. Dia jelas sudah mengetahui jawabannya. Andai aku masih bisa memilih, melibatkan mereka pun aku tidak mau. Ah, jika pengandaian itu berarti, aku akan berangan semua yang sedang kujalani hanya bagian dari mimpi buruk.
Sejenak, aku berpaling dari mereka. Momen yang singkat itu mempercepat degup jantungku. Aku mengembalikan pandanganku dan yang kulihat sama sekali berbeda. Sesaat, aku bagai melihat seseorang di balik dinding, perempuan berjilbab. Sayangnya, objek yang kulihat itu hanya tipuan yang diciptakan kerinduanku, delusi. Tidak mungkin Riana ada di rumah sakit ini.
"Pulang sekarang?"
Aku berhenti memerhatikan dinding itu, beralih kepada Wildan. Aku mengangguk padanya, lantas menoleh Catie. "I'll see you, soon."
Catie mengangguk.
Dalam sekejap, aku sudah berada dalam mobil yang dikemudikan Wildan. Kendati aku sudah meyakini yang kulihat barusan bukan bagian dari kenyataan, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Jika Riana benar ada di sana, bodoh sekali aku malah menganggap itu hanya delusi. Artinya, aku menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dengannya. Ah, pemikiran itu membuatku ingin menyuruh Wildan berputar arah.
"Apa sih yang membuatmu gundah?" Wildan melirikku lewat sudut matanya.
Aku menggeleng cepat. Kulesapkan tanganku ke dalam saku jaket, mengambil sebuah buku. Dream Book milik Riana. Aku memerhatikan buku bersampul hitam itu, membolak-baliknya dengan hasrat yang sangat besar untuk melihat isinya. Aku penasaran, mungkin selain menulis impian-impiannya dalam buku kecil ini, Riana juga menyertakan sedikit informasi yang dapat membawaku ke hadapannya. Aku sangat merindukannya. Aku juga berhutang penjelasan padanya. Aku akan melakukan apa pun untuk dapat bertemu dengannya saat ini juga. Namun, membuka privasinya ... Aku memilih tidak melakukannya. Itu adalah pengecualian. Demi apa pun, aku akan menghormatinya.
Aku menghempaskan punggungku ke sandaran kursi. Sekali lagi, kuamati buku itu, lantas kumasukkan kembali ke dalam saku. Aku melempar pandangan ke luar jendela, memerhatikan kesibukan kota tanpa selera. Beberapa saat, bosan. Aku menoleh Wildan.
"Aku pikir, aku tadi melihatnya," turuku. Sebagai reaksi, Wildan langsung melirikku. "Aneh sekali. Maksudku, itu sangat tidak mungkin. Bisa-bisanya aku berhalusinasi saking merindukannya."
Wildan tidak menanggapi dengan cepat. Air mukanya menunjukkan dia sedang berpikir. Aku berpaling, kembali menatap melewati jendela. Lagi pula, aku tidak terlalu mengharapkan respons darinya.
"Maksudmu, melihatnya di pinggir jalan?" Wildan bertanya dengan pandangan lurus menatap jalan, membuatku sontak membelokkan wajah.
"Di rumah sakit. Aku seperti melihat seorang perempuan berjilbab bersembunyi di balik dinding." Aku berhenti, membayangkan kembali objek yang sekilas tertangkap pandanganku. Bayangan itu kusudahi dengan tawa kecil. "Saat aku melihatnya sekali lagi, tidak ada apa pun. Itu konyol sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...