Keping 17: Permintaan Maaf

228 20 4
                                    

Semakin jelas. Ketika kesempatan kembali datang padaku, aku tidak dapat menatap Catie dengan cara yang sama lagi. Sejenak pun, aku tidak dapat membebaskan perasaanku untuknya. Rasa bersalah menahanku. Aku tahu, ini tidak adil untuk Catie. Betapa pun keras aku berusaha, aku tidak akan pernah bisa mencintainya dengan utuh sebagaimana yang Catie persembahkan untukku.

"Kamu akan bertahan di sini sampai besok pagi?"

Aku sekali lagi meliriknya. Mencintainya amat menyakitkan. Padahal, di sini aku adalah tokoh antagonis. Maka, sudah dapat dipastikan sakit yang diderita Catie jauh lebih buruk dari yang kutanggung.

"Terima kasih, Catie."

"Kamu bisa melakukannya, Adam." Catie menurunkan sebelah tangannya dari kemudi, mendaratkannya di tanganku. Dia menggenggam erat tanganku.

Aku membalas genggamannya sambil menahan pandanganku padanya. Aku benar-benar egois, rakus ... terserah kau suka menyebutnya apa. Aku tidak bisa melepaskannya. Catie terlalu penting. Aku tidak bisa kehilangannya dan di saat yang sama aku menginginkan orang lain lebih dekat ke dalam hidupku.

"Aku turun sekarang." Aku mengendurkan genggamanku. Catie melepaskan tangannya. Kusambar ransel berisi tabung oksigen, lalu kulangkahkan kakiku keluar dari mobil. Aku berdiri di samping mobilnya, melambaikan tangan, dan masih berdiri di situ sampai mobilnya menghilang dari pandangan.

Aku berbalik. Sejenak, aku menatap bangunan yang tidak pernah kudatangi itu. restoran Dad. Di sinilah Dad memulai bisnisnya pertama kali setelah ia kembali ke Brixton. Di sini Dad paling sering ditemukan, mengurus beberapa restorannya yang lain dari sini, dari restoran di Brixton. Ragu-ragu, kulangkahkan kakiku memasukinya. Seorang bell boy menyapa di muka pintu. Begitu kedua kakiku berada di dalam, seorang pelayan dengan cepat menghampiriku, menawari lokasi makan yang ideal.

"I'm here for Mr. Nicholas. Is Dad here?"

Perempuan berusia tiga puluhan itu tertegun sebenetar, seperti berusaha mengingat. "Oh, forgive me. I forget. Mr. Nick will be here in ten minutes, Mr. Adam."

Aku tidak peduli bagaimana pelayan di restoran ini dapat mengenaliku. Tapi, aku sangat peduli pada bukti yang menunjukkan betapa Dad peduli padaku hingga ia memperkenalkanku pada pegawainya.

"Aku akan menunggu."

"Tentu. Akan menunggu di sekitar sini?" dia menunjuk beberapa meja yang belum terisi. "Atau di ruangan Mr. Nick?"

"Di ruangan Dad," aku memutuskan dengan cepat. Aku baru saja merasakan sesuatu yang salah dengan tubuhku. Mendadak aku merasa sangat lemas, pusing, dan sedikit mual. Ini mirip dengan yang kualami setelah mendapat kemoterapi pertama. Dalam keadaan begini, aku lebih suka berada di tempat yang minim pandangan. Terlebih, selang yang terhubung dengan tabung oksigen di ranselku, mengait pada kedua telingaku, dan berakhir menusuk lubang hidupku membuatku merasa orang-orang lebih memerhatikanku. Entahlah. Kukira aku hanya curiga berlebihan.

Pelayan itu mengangguk. Dia mengantarku ke ruangan yang dimaksud.

"Mr. Adam mau dibuatkan minuman?"

"Jus melon dengan sedikit gula."

Pelayan itu sekali lagi mengangguk, lantas berlalu.

Aku menempati sofa di sebelah meja kerja Dad, merebahkan tubuhku di atas material empuk itu. Lemas mendorong kepalaku menyentuh sandaran kursi. Tubuhku sedikit merosot. Posisiku setengah berbaring. Aku menekankan jemariku pada dahiku yang terasa semakin pusing. Rasanya, aku ingin berbaring.

"Minumannya saya taruh di sini, Sir?"

Aku sedikit terperanjat. Kuperbaiki posisiku dengan cepat. Aku mengangguk pada pelayan itu. Kurang dari tiga detik, ruangan ini kembali kosong. Aku kembali ke posisi setengah berbaringku. Sekejap. Aku bangkit dengan cepat. Dorongan untuk muntah sangat tidak tertahankan. Aku menyasar pintu di sudut ruangan yang kuyakini sebagai kamar mandi. Aku menumpahkan isi perutku di wastafel sampai tidak ada yang tersisa untuk kumuntahkan, pahit. Aku mencengkeram perutku yang masih terasa mual. Sebelah tanganku berpegangan pada pinggiran wastafel. Dua menit lebih kuhabiskan di kamar mandi. Aku kembali ke sofa hanya untuk bangkit belasan detik kemudian.

Tomorrow Isn't A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang