Keping 13: Seniman Jalanan

213 25 2
                                    

Pensil bergerak lebih lancar di tanganku. Aku membuat garis dengan mudah, menciptakan lekukan, membentuk bulatan ... jemariku kembali terlatih melenggang di atas kertas putih. Aku melukis lagi. Sudah beberapa kali sejak aku membuat lukisan sketsaku yang pertama. Kali ini, aku bisa lebih berdamai dengan kegiatan itu. Tidak ada rasa jengah, kesal, tidak ada apa pun yang berhubungan dengan Dad. Hanya ada kebebasan dan sedikit pelepasan beban.

"Kemampuan melukismu buruk sekali, Adam." Catie kembali dari dapur, membawa dua gelas jus melon yang dia letakkan di atas meja. Dia menempati area kosong di sebelahku, duduk merapat tanpa menyisakan jarak di antara kami. Terlalu dekat hingga aku dapat menghirup aroma lemon dari rambut merah stoberinya. Matanya menjelajah setiap senti kertas gambarku.

"Jika dibandingkan dengan Leonardo Da Vinci, Vincent van Gogh, atau Claude Monet," aku mendaftar nama-nama yang kutemukan saat aku mengunjungi National Galery. Tanganku masih fokus menyempurnakan helaian rambut yang kugambar. Kedua mataku memastikan hasilnya sebagus yang kulihat dari layar ponselku.

"Lihatlah, dia jauh lebih cantik dari aku."

Aku mengehentikan gerakan jariku. Pensil itu kubiarkan tergeletak di atas kertas gambarku. Wajahku berbelok, menyasar Catie yang mengepungku dengan senyum manisnya. Kukira dia memberikan penilaian berdasarkan kualitas gambarku yang memang buruk.

"Aku ambil itu sebagai celaan. Kamu tidak tahu, tanganku berjuang keras membuat sesempurna yang ada dalam foto ini." Aku berpaling sesaat, menunjukkan ponselku. "Tidak bisa, makhluk ini terlalu sempurna untuk kugambar dengan jari-jari payah ini."

Catie meraih jemari yang tengah kugerakkan, menyelipkan jemari lentiknya di antara jari-jariku. Kukunya yang dicat merah muda berkilauan ditimpa cahaya lampu. Mata coklat keemasannya menatapku, berbinar bagai batu permata. Senyumnya adalah salah satu bagian dunia yang paling indah. Dia dalah salah satu bentuk terindah hasil keagungan Tuhan. Tapi, bukan itu. Bukan segala keindahan yang ditawarkannya yang membuatku jatuh hati. Ketulusannyalah yang mampu menghancurkan pertahanan yang coba kuciptakan.

"Kamu pelukis paling payah, Adam."

Aku mengangkat tanganku yang bebas. Kusisihkan rambutnya yang jatuh menutupi sebagian pipinya. Helaian rambutnya selembut sutera di tanganku. Aku menyelipkannya ke belakang telinga. Paras menawannya lebih terekspos sekarang. Ingin rasanya tanganku membingkai wajahnya, merasakan kuitnya yang putih kemerahan di telapak tanganku. Namun, tanganku berakhir kutarik kembali. Ini sudah terlalu jauh, aku sadar.

"Tanganku tidak berhak melukiskan keindahan yang absolut."

Terjadi jeda yang singkat. Kesenyapan membalut. Denting jarum jam bertingkah melawan senyap.

"I love you, Adam," Catie-lah yang justru berhasil menangkup pipiku dengan tangannya, memerangkap wajahku di hadapan keelokan senyumnya. Aku tidak dapat membohongi diriku saat kurasakan degup jantungku menggila, ada getaran lain dalam dadaku yang membuat seluruh tubuhku menggigil. Dorongan itu, keinginan yang dapat mengacaukan prinsip yang kujaga, harus kuikat kuat-kuat. Aku ingin menarik wajahnya lebih dekat, merasakan sesuatu yang lebih. Aku tahu, Catie juga menginginkannya. Tapi, aku harus mempertahankan batas yang kubangun. Catie tahu, dan dia menghormati itu. Kami hanya berpuas diri saling menatap, mengurung emosi yang semakin menggiras.

"I love you w—," aku urung meneruskan. 'With all my heart' tidak patut kuucapkan padanya karena itu adalah sebuah kebohongan. Cinta yang kujaga untuk perempuan lain masih hidup dalam hatiku, berdenyut seirama dengan denyut nadiku. Ah, kesadaran itu memberikan ruang untuk rasa bersalah. Jika dia melihatku saat ini, aku yakin dia akan memiliki penilaian yang sama sekali berbeda terhadapku. Itu bukan hal yang kuinginkan. Bagaimanapun, aku sangat mencintainya dan aku ingin dia berpikir baik mengenaiku.

Tomorrow Isn't A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang