Keping 25: New Phase

142 16 4
                                    

“Aku merasa baik, Rian,” aku menjawab pertanyaan cemas Riana yang meneleponku sehari setelah aku mendapatkan hasil MRI. Aku tidak bermaksud membohonginya. Di samping kebenaran bahwa kanker paru-paruku semakin parah, sekarang aku merasa baik-baik saja.

Well, itu yang selalu kamu katakan untuk mengelabuiku.”

Aku tertawa pelan mengingat beberapa kali aku menggunakan kalimat itu untuk menutupi kondisiku yang sebenarnya pada Riana. “Apa yang ingin kau dengar?”

“Jawab pertanyaanku!” tuntutnya dengan nada penuh otoritas.

Aku lagi-lagi tak bisa menahan kedua sudut bibirku agar tidak melebar. Pasti menggelikan sekali melihat wajahnya saat ini. “Pertanyaan yang mana?”

Aku mendengar dia mengerang kesal sebagai jawaban. “Aku ingin meninjumu sekarang juga, Adam.”

“Oh, ya? Kalau begitu kemarilah, pukul aku sesukamu.” Aku langsung tertegun oleh kata-kataku sendiri. Teringat bagaimana yang terjadi antara aku dan Catie kemarin. Rasa bersalah ini sungguh tak tertanggungkan. Aku butuh seseorang memukulku sampai babak belur dan aku masih ragu itu merupakan hukuman yang cukup pantas untukku.

“Baiklah. Memang lebih baik aku menelepon Tante Dini saja.”

“Tunggu,” cegahku. “Jangan! Oke, aku akan katakakan hasilnya.”

“Bagaimana hasilnya?” sambarnya cepat.

“Tidak tahu,” sahutku.

“Adam!”

“Aku berubah pikiran karena kamu tidak sabaran.” Telah menjadi kebiasaan yang mengakar menggoda Riana begitu. Rasanya selalu menyenangkan membuat dia kesal. Terlebih jika aku dapat melihat reaksinya.

I wonder why the person like you really exist in this world.”

“Sudah jelas untuk membuat hari-harimu semarak, Rian. Bayangkan betapa tidak serunya jika aku tidak pernah ada untuk membuatmu jengkel?”

Aku hanya mendengar helaan napas darinya. Kukira kalimatku cukup menohok baginya karena alasan yang sedikit kupahami. Aku sendiri mendapati perih setelah mengucap kata-kata itu. Sungguh, aku ingin menjadi orang itu. Aku ingin menjadi orang yang membuat hari-harinya semarak. Bukan hanya di masa lalu. Aku juga ingin menjadi bagian dari masa depannya. Namun, harapan itu terdengar sangat tidak masuk akal dari hari ke hari.

Aku tak bisa bersamanya. Aku tidak mungkin membuat dia bersamaku sekalipun kuakui aku sudah putus dengan Catie. Aku tidak bisa menjadi egois dengan mendahulukan keinginanku dan mempertaruhkan masa depannya. Riana berhak mendapat masa depan yang hebat. Dan aku bukan orang yang tepat untuk menjadi bagian masa depannya.

“Kamu tahu itu. Jadi, jangan menyerah!” dia berbicara kembali setelah membiarkan senyap bertingkah berpuluh detik. “Lupakan saja pertanyaanku. Sudah malam. Kamu harus beristirahat.”

“Stadium IV,” ucapku cepat.

Lalu, hening. Hening yang lebih menjengkelkan. Inilah alasan aku tidak suka membahas hasil MRI-ku. Aku tidak mau orang-orang ikut merasa buruk. Di sisi lain, sejujurnya, aku ingin membahas ini dengan Riana. Aku butuh mendengarnya meneriakkan kalimat-kalimat berat yang dapat mengangkat semangatku. Aku butuh kekuatan yang dapat dia salurkan. Aku butuh motivasinya. Aku butuh kata-kata menjengkelkannya. Aku butuh ... dia.

“Itu hasilnya?” Riana bertanya. Suaranya pelan. Oh, aku tidak berharap dia menangis. Sungguh, jangan biarkan dia sedih.

It’s not that bad, right?” pertanyaan yang sangat bodoh memang. Sudah jelas, itu sangat buruk. Aku hanya tidak ingin menganggapnya demikian buruk. Aku tidak mau fokus pada tingkat parahnya penyakitku. Itu hanya akan menambah beban di kepalaku. Kukira, aku masih bisa berjuang. Itu yang harus menjadi konsentrasiku.

Tomorrow Isn't A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang