Keping 7: Paradoks Musim Semi

305 32 2
                                    

Selamat pagi musim semi.

Aku menatap bunga tulip berwarna merah yang merekah, bagai sedang tersenyum padaku. Di taman kecil ini, Catie juga menumbuhkan bunga-bunga lain yang aku tidak hafal namanya, berbaris rapi membentuk formasi setengah lingkaran. Semua bunganya mekar, memeriahkan halaman belakangnya dengan warna jingga, kuning, merah muda, dan merah.

Aku duduk di kursi kayu panjang, tepat di tengah formasi bunga-bunga. Akulah paradoks bagi keindahan yang disepakati pandanganku. Semangatku layu, kering, perlahan beruguran. Wajahku lebih pucat dari musim dingin. Hatiku kering, retak-retak, mungkin tak lama lagi pecah berhamburan. Semua yang coba kusembunyikan dalam segaris senyum yang kupertahankan.

"Sampai mana tadi?" Catie kembali usai menghabiskan beberapa menit mengobrol dengan Mr. Alex di dalam.

Aku memang tidak sopan, sepagi ini sudah menyatroni rumah Mr. Alex. Kedatanganku mengganggu sarapan ayah dan anak itu. Aku bersyukur dan merasa bersalah di saat yang sama tatkala Catie membukakan pintu dan memperlihatkan wajah riang padaku. Aku berhak menerima penolakan, tapi Catie mengajakku ikut sarapan dengan mereka. Catie maklum. Demikian pula Mr. Alex. Mereka malah memperlakukanku dengan hangat, layaknya aku bagian dari keluarga.

Mengunjungi Catie pagi ini mendadak menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Aku kira, setelah mendapat hasil yang kurang memuaskan dari rangkaian kemoterapi pertama, mendapat hasil serupa setelah rangkaian kemoterapi kedua akan lebih mudah. Nyatanya, sebaliknya. Semalaman aku sulit tidur, sungkan berhenti memadu kasih dengan kecewa. Pengobatanku tidak berjalan dengan baik. Harapan untuk sembuh agaknya memusuhiku. Jika ada orang yang dapat kudengar ujaran panjang motivasinya, aku tidak ragu orang itu adalah Catie. Aku benar-benar membutuhkannya saat ini.

"Jadi, kenapa ibumu yang benci kucing menamaimu Catherine dan memberimu panggilan Catie?" Aku menanyakan yang belum sempat Catie jawab, memutus lamunan singkatku.

"Malam itu salju turun lebat. Mum sendiri di rumah. Dad belum pulang ketika Mum mengalami kontraksi. Kucing pencuri itu satu-satunya makhluk hidup yang ada di rumah. Dia mengeong tiada henti, panjang, melengking, dan keras. Suaranya terdengar sampai ke rumah tetangga. Lalu, kucing itu mulai menjatuhkan barang-barang, membuat keributan yang semakin mengganggu. Nenek tua yang tinggal di sebelah datang ke rumah, mengecek asal keributan. Nenek tua itu menemukan Mum di kamarnya sudah bersimbah darah dan tidak sadarkan diri. Dia memanggil tetangga yang lainnya, lantas bersama-sama membawa Mum ke rumah sakit terdekat. Aku lahir dengan selamat. Mum juga berhasil diselamatkan." Catie menyetop ceritanya, memandangku yang menyimaknya dengan serius.

"Seekor kucing menyelamatkan kalian," aku menyimpulkan.

"Mum ingin mengingatkan dirinya bahwa kucing telah bertindak sangat heroik dan menyelamatkan hidup kami."

Aku membuang pandangan dari Catie. Bibirku yang terkatup rapat sedikit bergetar, menahan tawa. "Kamu disamakan dengan seekor kucing?" Saat aku bersuara, upayaku gagal total.

"Aku disamakan dengan pahlawan atau penyelamat, Adam!" Catie memprotes. Wajah cantiknya ditekuk, tidak terima dengan tuduhanku.

"Hargamu hanya seekor kucing, Catie." Aku terkekeh.

Catie mendengus sebal. Hidung lancipnya memerah. Dia tengah menyadari kekeliruannya memberitahuku kisah bersejarah itu. Bukan salahku jika aku menyimpulkan berdasar sudut pandangku.

"Hidungmu yang merah begitu mengingatkanku pada Laras," aku bergumam. Bayangan wajah Laras yang tengah marah mengisi pandanganku. Dia tidak seperti seeorang pada umumnya. Saat sedang marah, bukan seluruh wajahnya yang memerah, melainkan hidungnya saja.

Tomorrow Isn't A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang