Keping 9: Berdamai dengan Perasaan

184 19 0
                                    

Adam meresmikan hubungannya dengan Laras sebagai sepasang kekasih. Aku? Aku masih teman dekatnya, setidaknya begitulah yang kupikirkan. Aku tidak lantas menjauh darinya, menganggap tidak ada yang berubah, menyikapi status baru Adam dengan santai—kuharap aku benar-benar melakukannya.

Kecuali waktu mengobrol kami terpangkas, Adam juga tidak mengubah sikapnya. Dia tetap usil dan suka mendebatku soal apa pun, terutama sepak bola. Kami juga masih sering berdiskusi soal pelajaran. Adam tampaknya memiliki anggapan yang sama soal statusnya. Kami masih berteman baik walau bagaimana pun. Dia bahkan masih memintaku datang ke pertandingan sepak bola atau futsalnya.

Aku memang menyukai kedua olah raga itu. Saat Adam memintaku, tidak heran aku langsung mengangguk. Aku baru mendapat keraguan saat meniti langkah menuju lapangan futsal. Adam pasti mengajak Laras. Aku yakin dia dengan senang hati menjemput Laras, tidak seperti aku yang harus berjalan kaki ke lapangan futsal itu, untuk di sana menjadi santapan lezat cemburu. Ya, ampun, bodoh sekali!

Seketika, jalan yang kutapaki menjadi berduri. Semakin aku melangkah, semakin tertusuk kakiku, perih menyebar dengan cepat ke seluruh tubuhku. Aku tahu hal benar yang harus kulakukan: berbalik, menjauh pergi, tidak jadi datang. Namun, hal itu putus di pikiranku. Melakukannya sama sekali tidak mudah. Pertama, aku tidak dapat memikirkan alasan jika Adam menanyakan ketiadaanku di lapang futsal—kendati itu meragukan mengingat Adam sudah memiliki fan baru sekarang. Kedua, pikiranku diracuni oleh sesuatu bodoh yang disentisis oleh perasaanku. Aku teguh berjalan, tidak peduli perih akan semakin menghabisiku. Menantang luka? Bukan.

Aku benci cemburu. Rasa sakit adalah harga yang harus dibayar atas terkamannya. Namun, apa yang kulakukan? Aku sama sekali tak kuasa menghindari objek yang memunculkan cemburu di benakku. Alasanku, aku tak sedikit pun memiliki rasa benci terhadap objek itu, Adam. Dilema memang ketika aku harus memilih antara menyerahkan diri pada cemburu atau menghindari Adam. Akhirnya, aku lebih memilih opsi pertama.

Aku amat setuju dengan anggapan orang bahwa cemburu itu menyakitkan. Di samping itu, ada sebuah ironi saat melihat dia bahagia dengan yang lain, timbul secercah kebahagiaan dalam benakku. Memperhatikan senyumnya, binar matanya, aku bagai menemukan kebahagiaanku sendiri. Ya, aku bahagia walaupun kebahagiaan itu tak cukup untuk mengobati perih.

Dibarengi dengan perasaan-perasaan yang menggelikan, aku sampai juga di lapangan futsal. Yang lain sudah berkumpul, kecuali Adam. Aku bergabung dengan teman-teman satu kelasku, nimbrung percakapan mereka. Aku memang lebih nyambung mengobrol dengan teman laki-laki karena memiliki kesukaan yang sama, sepak bola.

Selang satu menit, Adam datang dengan sepeda motor Ninja berwarna merah kesayangannya. Bersama Laras. Mereka berjalan mendekat dengan diiringi siulan teman-teman. Aku susah payah mengembangkan senyum demi menutupi bekas-bekas terkaman cemburu di wajahku.

"Kamu juga datang, Pril?" Laras menghampiriku, tersenyum ramah.

Aku hanya mengangguk. Jika saja Laras orang yang tidak menyenangkan, akan lebih mudah menanggung perasaan ini. Laras justru teman yang baik dan kecantikannya disepakati seantero sekolah—bahkan aku berani bertaruh siapa pun akan mengakui keelokan rupanya. Fakta itu semakin menegaskan bahwa aku sudah sepantasnya membunuh perasaanku. Bagaimana tidak, Adam sudah memiliki kekasih yang sangat tepat.

"Pemanasan, guys!" Burhan bangkit dari duduknya, mengajak yang lain memasuki lapangan.

"Jika aku mencetak gol, aku persembahkan gol itu untukmu," Adam setengah berbisik kepada Laras yang direspons oleh senyuman manis Laras.

Merapatkan diri ke kawat pembatas, aku berpura-pura tidak mendngarnya. Kuarahkan pandanganku tanpa minat pada apa pun yang ada di lapang futsal. Aku nyaris terlonjak melihat Adam yang tiba-tiba berdiri di hadapanku. Wajahku langsung terasa panas. Degup jantungku memukul dadaku dengan sangat keras. Dia melempar bola futsal mengarah pada kawat pembatas tepat di depan wajahku, lantas mempersembahkan seringaiannya yang menyebalkan.

Tomorrow Isn't A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang