Baru-baru ini, aku menemukan arti yang sebenarnya dari sebuah penantian. Pemahaman itu terselip di antara kegelisahan yang mengantarkan hari-hariku sejak fajar sampai larut malam. Muncul bersama kerinduan yang tidak mengerti istilah 'sabar'. Bukan penat, sebab menunggunya selalu ditemani kenangan yang indah. Itulah masalahnya. Keindahan dalam kenangan yang kulihat menerkam dadaku lebih ganas dari biasanya. Perih. Begitulah yang kudapat dari sebuah penantian panjang.
Satu minggu berlalu. Setiap detik, dari hari ke hari, aku selalu menunggu jawaban dari tiga pertanyaan sederhanaku. Setiap jam, aku menyempatkan diri mengecek ponselku, berharap menemukan sebuah surel dari orang bernama Will itu. Satu jam sekali, aku harus menjejalkan kecewa, meneguk satu lagi butir kecemasan. Selalu begitu. Setiap hari.
Tidak terhitung aku berpikir untuk pergi saja ke London. Setidaknya, tujuanku lebih jelas. Aku bisa mendatangi satu per satu rumah sakit yang ada di London, mengecek kemungkinan mencatatkan seorang Adam Stuart Anderson sebagai salah satu pasien yang menjalani pengobatan di sana. Namun, aku terlalu takut menghadapi kenyataan terburuk.
Ponselku berdering, tak lama setelah terakhir kali aku mengeceknya. Aku pikir itu hanyalah pesan-pesan tidak penting yang biasa memenuhi kotak masuk surelku. Rupanya, bukan. Kedua mataku melebar membaca nama pengirim. Kecemasan, kerinduan, rasa-rasa yang belakangan berebut menjadi dominan bergabung memenuhu dadaku, bergemuruh. Dengan mudah detak jantungku mengalami percepatan pesat. Tetapi, bukan. Itu bukan jawaban yang kunantikan. Itu catatan Adam yang lain.
Apa kabar, Indonesia? Apakah matahari bersinar cerah di sana? Di sini musim gugur. Orang-orang bilang, indah sekali pemandangan di luar sana. Pohon-pohon berwarna cokelat. Daun-daun berguguran. Udara tidak panas, tidak juga dingin. Aku ingin menyetujui pendapat orang-orang. Faktanya, aku tidak merasakan keindahan itu. Bagaimana mungkin, sedangkan sejak dua hari kemarin aku berbaring di ranjang rumah sakit ini? Tapi, tidak masalah. Aku akan segera keluar besok atau beberapa hari lagi. Kalaupun aku harus kembali melewati musim gugur dengan beristirahat di rumah, aku masih punya musim gugur berikutnya. Siapa yang mengatakan aku tidak akan bertemu dengan musim gugur lagi? Tidak ada bukan? Jadi, biarkan aku meyakininya. (Oktober 2013, Adam)
Aku bergegas merapikan buku-bukuku. Kutinggalkan perpustakaan dengan kecemasan yang semakin menggila. Aku membuat visualisasi atas catatan singkat itu, melihat Adam terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah pucat. Tatapan mata tegasnya menjadi sayu. Ingin rasanya aku bertemu dengannya saat ini juga. Sekali lagi, aku memilih menunggu. Mungkin orang itu masih akan mengirimkan surel padaku. Kuharap yang selanjutnya adalah jawaban yang kuinginkan.
"Riana!"
Aku menoleh, mendapati Setya sudah menyejajarkan langkahnya denganku. Senyumnya lagi-lagi harus dia padamkan lebih cepat setelah matanya bertemu dengan wajahku.
"Ada apa?"
Aku hanya menggeleng. Aku terus mengabaikannya, sesering Setya mengajukan pertanyaan itu.
"Seminggu terakhir kamu menekuk wajahmu. Itu jelas ada apa-apa." Setya berhenti sejenak. Dia menjatuhkan pandangannya pada langkah kakinya, bagai sedang menghitung berapa yang dia butuhkan untuk mencapai halte.
"Jika kamu tidak mempercayaiku untuk berbagi, paling tidak katakan apa yang dapat kulakukan untuk memperbaiki sedikit suasana hatimu!" Setya membelokkan wajahnya, menatapku tulus.
Aku membenamkan dulu segala tentang Adam. Bukan aku tidak mempercayai Setya sebagai teman untuk berbagi. Aku mempercayainya lebih dari siapa pun yang kukenal di sini. Aku hanya tidak tega menceritakan yang sejujurnya. Aku berani bertaruh, sedikit atau banyak, Setya akan merasa buruk setelah mendengarnya.
"Apa ini berkaitan dengan orang itu? Dia yang membuatmu segelisah ini?"
Pada momen yang singkat, aku terperangah. Semudah itu Setya menebak penyebabnya. Tapi, kemudian aku mengerti. Setya memang selalu mengetahui banyak hal dengan mudah. Dia bahkan bisa mengira aku tengah menyukai seseorang walau aku tidak pernah sebentar pun menyinggung soal itu. Dia selalu tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...