Di mana aku?
Pandanganku dibutakan oleh ketiadaan cahaya. Resah, leherku terus bergerak, mencoba menemukan celah untuk masuknya cahaya. Tubuhku ikut berputar. Mencari. Terus mencari. Tidak ada. Kakiku mulai melangkah. Ke mana? tanganku meraba-raba udara, berupaya mencegahku menabrak sesuatu. Tapi, sepertinya tidak ada apa pun di sini. Hampa.
WIIIILLLL? Aku berteriak semampuku. Hanya kesunyian yang membalasku. Tidak ada suara. Oh, bahkan derap langkahku juga tidak menimbulkan bunyi. Apakah aku sudah tuli?
MAMAAA?
Tak ada jawaban. Keresahan perlahan berubah menjadi ketakutan. Tanpa kusadari, kakiku mulai berlari. Kencang. Melebihi kecepatan yang aku sanggup. Tubuhku mendadak terasa sangat ringan. Otot-ototku menjadi begitu kuat sehingga berlari tak menjadi masalah sama sekali.
Tapi, untuk apa aku berlari? Memangnya apa yang mengejarku?
Entahlah. Aku bahkan tidak tahu. Aku hanya ingin berlari secepat kejaran angin. Mungkin aku sedang berusaha lepas dari kegelapan yang mengepungku? Mencari seberakas cahaya?
Auu!
Kakiku tersandung, membuat tubuhku terbanting. Spontan, aku memejamkan mata sebelum kepalaku menabrak permukaan. Ketika kubuka kembali kedua mataku, terang menyambutku. Benar-benar terang sampai sekelilingku menjadi putih. Atas, bawah, depan, belakang, kanan, kiri, seluruhnya putih. Tidak ada jalan keluar. Hampa. Di mana aku terjebak?
Aku membawa tubuhku pada kedua kakiku. Berlali lagi, lurus ke depan. Lama sekali aku berlari dan tak menemukan apa pun. Aku berbelok. Panjang jarak yang kutempuh, masih tidak ada apa pun. Aku berhenti. Kepalaku mendongak. Puncak atap berwarna putih itu bagai beberapa kaki saja di atas kepalaku. Namun, saat aku melompat untuk menyentuhnya, hampa. Akhirnya, aku menjatuhkan tubuh ke permukaan. Menyerah. Mungkin di sinilah tempatku seharusnya berada walaupun aku sama sekali tidak memiliki ide tempat apa ini. Aku menolak hasrat untuk berpikir. Biarlah. Biarlah aku di sini. Aku sudah lelah berlari. Aku sudah lelah mencari.
Tidak ada siapa pun yang menghuni tempat ini mendatangkan kedamaian. Aku mencoba mendapatkan lebih dengan menutup mata. Tidak ada yang berbeda, sedamai saat aku membuka mata. Jadilah, aku hanya menatap lurus ke atas. Tak berbuat apa-apa. Tak memikirkan apa pun. Hanya merasakan kedamaian ini. Kedamaian yang membuatku ingin menetap. Rasanya, aku tidak pernah merasa begini sebelumnya. Inikah puncak perasaan yang ingin diraih oleh manusia? Beruntung sekali aku berkesempatan merasakannya.
Lamaaa sekali hingga waktu yang tidak kutahu panjangnya, aku dalam posisi begini. Tak bergerak walau semili. Mendadak sebuah suara muncul. Suara itu menuntunku bangun, lantas melangkah mengikutinya. Kian lama kian jelas. Semula, hanya terdengar gumaman yang tidak mampu kuterjemahkan. Kini, aku dapat mendengarnya sebagai suara orang mengaji. Aku bergerak lebih cepat, mengejar suara itu, seolah hidupku akan segera berkahir jika aku kehilangan suara itu.
Itu dia! Jauh di depanku, sesosok figur terbentuk dari seberkas cahaya yang sangat terang. Cahaya itu meredup, perlahan-lahan memperlihatkan sosok padat dengan postur dan wajah yang kukenali.
RIANAAAAAA! Aku menaruh kedua telapak tanganku yang terbuka di kedua sudut bibirku.
Dia menatap tepat ke mataku, tersenyum ramah. Suaranya masih memukul-mukul gendang telingaku. Dengan cara yang tak masuk akal, pukulan itu menyakiti hatiku. Bukan, membuatku sedih. Merasa bersalah ... apalah itu. Semakin aku mendekat padanya, semakin besar emosi yang kurasakan. Saat aku hanya selangkah darinya, bertong-tong kepedihan bak disiramkan padaku, membuatku tak sanggup melawan desakan tangis. Kemudian, sesuatu seperti menarik tubuhku dengan kuat ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...