Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan Mama dan Wildan di kanan dan kiriku. Beberapa orang turut berjalan di depan dan belakang, pun dari arah berlawanan. Dalam keramaian ini, aku merasa sedikit kesepian. Aku sering menatap pilu pada beberapa sudut tempat ini. Tidak bisa tidak kucegah kerinduan menohokku saat kutemukan jejak-jejak kebersamaan kami. Dia selalu ada dalam pandanganku sebagai sebuah kenangan yang tak dapat kusentuh. Bagai sudah bertahun-tahun dia meninggalkan kota ini, dan Royal Marsden tidak pernah sama sejak dia pergi.
Kami melewati belokan terakhir. Lorong ini jauh lebih sepi. Hanya terlihat beberapa perawat melintas. Sampai di depan ruangan Dokter Daniel, Mama mengetuk. Terdengar dari dalam Dokter Daniel mempersilakan masuk.
“Aku menunggu di sini saja,” Wildan mengumumkan yang disetujui dengan aku dan Mama melangkah masuk.
Dokter Daniel menyambut kami dengan senyum ramahnya. Mama dan aku duduk bersisian menghadapnya. Seperti sebelum-sebelumnya, kedatangan kami ke ruangan ini adalah untuk melihat hasil MRI-ku yang diambil kemarin setelah aku menuntaskan delapan siklus imunoterapi.
“Bagaimana kabarmu, Adam?” Dokter Daniel menjulurkan tangannya setelah lebih dulu menyapa Mama.
Aku menjabat tangannya. “Sebaik yang Dokter lihat.”
Dokter muda itu mengulum senyum. Tampaknya, ia masih bersuka-cita atas kelahiran putrinya beberapa hari yang lalu.
“Catie mengirimkan salam dan dia berdoa untuk kesembuhanmu.”
Sementara aku merasakan wajahku menghangat, Mama dan Dokter Daniel kompak memberikan senyum menggoda.
“Aku akan meneleponnya langsung untuk mengucapkan terima kasih.”
Ucapanku menambah lebar senyum Mama dan Dokter Daniel.
“Saya berharap kalian tidak benar-benar putus.”
Mama mengangguk menyetujui ucapan Dokter Daniel. Aku tidak memberikan komentar. Tatapanku terarah pada sesuatu yang masih disembunyikan di bawah tangan Dokter Daniel itu.
“Jadi, hasilnya ada perubahan, Dok?”
Tanpa memadamkan senyumnya, Dokter Daniel menyingkirkan tangannya. Ia menyejajarkan dua pencitraan itu di hadapan kami. Aku menatapnya, menemukan perbedaan yang nyata di antara keduanya. Sebelum aku merangkai kesimpulan, Dokter Daniel menuturkan penjelasan,
“Saya tidak mengira hasilnya akan begini. Tiga pembedahan, lima kemoterapi, dua radioterapi, serta pil yang telah kamu konsumsi tidak memberikan hasil yang bagus. Kanker dalam tubuhmu rupanya sangat resisten.” Dokter Daniel menatapku serius. Seiring ucapannya, senyum menghilang dari wajahnya.
“Sekarang, hasilnya dapat dilihat, Adam dan Mrs. Dini. Tidak kurang dari lima puluh persen kanker itu lenyap.”
Aku membulatkan kedua mataku. Untuk sesaat, otakku seolah tidak bekerja. Seluruh kebahagiaan yang ditumpahkan padaku, tidak langsung direspons.
“Ini sungguh sebuah keajaiban.”
“Ini nyata, ‘kan, Dok? Artinya, anak saya punya harapan sembuh?”
Aku masih diam. Tapi, tanganku yang menempel di pangkuanku bergetar. Tahulah aku, bukan hanya ketakutan yang dapat membuat tubuh menggigil, pun kebahagiaan yang teramat besar. Ruangan ini terasa berkali lipat lebih lapang. Udara yang menyelubungi sekitar bak udara di pegunungan yang amat menyegarkan.
“Tentu harapan itu selalu ada. Apalagi setelah melihat hasil ini.”
Aku mohon diri setelah Dokter Daniel mengucap beberapa kalimat lagi. Aku butuh pelepasan. Wildan mendekat begitu aku keluar. Wajahnya menjelaskan saat ini dia sangat penasaran.
“Bagaimana?”
Aku menjawab dengan mendekatkan diriku padanya. Kudekap dia seerat yang kumampu. Wildan masih berdiri kaku. Dia sepertinya tidak dapat menebak maksud gesturku dengan benar. Sadar begitu, aku melepaskan diri. Benarlah. Bingung mengisi urat-urat wajahnya.
“Lima puluh persen sel kanker menghilang, Wil!”
Satu detik. Dua detik. Wildan diam seribu bahasa. Detik berikutnya, dia tersenyum lebar, lantas giliran dia yang menarikku ke dalam pelukannya. Tangannya melingkari punggungku lebih erat dari yang kulakukan. Aku tak yakin bisa melepaskan diri jika bukan dia yang membiarkan.
“Alhamdulillah. Alhamdulillah, ya Allah.”
“Aku bisa sembuh, Wil. Aku bisa sembuh.” Dan tanpa sadar, keharuan itu melelehkan emosiku.
Wildan melonggarkan dekapannya. Kini dia menepuk pelan punggungku sebelum benar-benar melepaskanku. “Tentu saja, Dam. Kamu akan sembuh.”
Selanjutnya, kami hanya saling diam. Tak perlu lagi mengutarakan banyak hal. Pelepasanku sudah cukup. Sisanya, biar tersimpan dalam hati. Lagi pula, kesembuhanku belum pasti. Apa pun bisa terjadi di hari-hari selanjutnya. Aku masih harus berjuang.
“Emm, Dam?” Wildan bertindak memutus sunyi di antara kami.
“Apa?”
“Apakah ini tidak akan mengubah keputusanmu?”
Aku mengerutkan kening. Ada banyak keputusan yang kubuat. Banyak yang di antaranya yang Wildan tahu. Semua yang kupikirkan bisa jadi yang dia maksudkan.
“Soal Riana. Kamu serius melepasnya?”
Aku terdiam seketika. Pertanyaannya mengirimku pada momen berbulan silam, saat percakapan menyakitkan itu terjadi. Sebentar, aku berpikir. “Ya, aku serius, Wil. Itu keputsan final. Dia akan bahagia meskipun bukan denganku.”
“Bagaimana denganmu? Apakah kamu akan bahagia jika dia dengan yang lain?”
***
Bersambung ke Tomorrow isn’t a Promise
-----------
Jangan lupa tinggalkan jejak!
Thanks.
See ya,
♥️Samina
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...