Mereka bilang, pengkhianatan dalam suatu hubungan terjadi karena telah hilang atau berkurangnya rasa cinta di antara kedua pihak yang terlibat dalam sebuah hubungan. Aku setuju, itu hanya berlaku untuk mereka yang menganggap demikian. Aku tidak. Pertama, aku tidak yakin hubunganku dengan Riana berarti sesuatu. Maksudku, ya aku sangat mencintainya. Namun, aku tidak tahu bagaimana dia menganggapku. Meski kusadari pertemanan terlalu dangkal mendeskripsikan hubungan kita dan persahabatan terdengar aneh. Faktanya, kita tidak pernah saling mengungkapkan apa pun dan aku tidak menyimpan niat untuk jujur padanya.
Kedua, yang kurasakan untuk Catie tidak sedikit pun berkurang. Aku masih mencintainya sebesar ketika pertama kali aku menyadarinya. Bahkan, setelah yang kami jalani bersama tiga tahun terakhir, bisa jadi perasaanku untuknya lebih besar. Sejauh yang aku tahu, aku tidak pernah suka melukainya dengan melakukan ini kendati di saat yang sama aku tidak dapat memungkiri rasa senangku membuncah tatkala aku menghabiskan waktu dengan Riana. Parahnya, aku tidak dapat memutuskan, antara dia atau Riana, aku tidak bisa menjauhi salah satunya.
Maka, melihat dia berdiri di depan rumah—memenuhi janjinya untuk menerima hukuman lantaran pada semifinal yang kami saksikan beberapa waktu lalu Jerman kalah—hatiku berubah menjadi musim semi, berbunga-bunga. Aku telah melewati alah satu hari yang paling membahagiakan untukku saat menjelajah Paris dengannya, kuharap, kan kurasakan hal serupa.
Dan hei, dia terlihat lebih cantik dengan penampilan yang amat berbeda dari biasanya. Dia mengenakan celana panjang model kulot yang dikombinasikan dengan atasan berlengan panjang dan sebuah outer tak berlengan yang jatuh menyentuh lututunya. Jilbabnya bermotif abstrak, memperanggun tampilannya. Sayangnya, dia tidak menggunakan sneakersi dan tidak mau mengganti ransel kesayangannya.
“Terima kasih sudah datang untuk melaksanakan hukumanmu.”
Riana tersenyum kecil. Detik itu, aku memutuskan tidak jadi memberi kostum serba-Barcelona yang telah kupersiapkan.
“Aku tahu ini sangat terlambat.” Riana beralih ke ranselnya. Dia mengeluarkan sesuatu yang langsung dia berikan padaku. “Happy birthday, Dam!”
Aku tidak perlu repot-repot menebaknya. Tanpa kertas kado membungkusnya, warna blaster dari jersey kandang Juventus terlihat jelas. Dasar tidak kreatif, dia bahkan tidak menyematkan sebuah pita untuk menegaskan jersey itu sebagai sebuah hadiah. Hanya dibungkus plastik yang menandakan jersey itu baru.
“Thanks. Ini resmi jadi jersey favoritku.” Aku nyaris mengenakannya saat itu juga jika Riana tidak menghentikanku.
“Kamu tidak sungguh-sungguh akan berganti di depanku, ‘kan, Dam?”
Aku menjauhkan tanganku dari ujung kaus seraya melebarkan bibir. “Duduklah. Aku akan kembali.”
Entah hanya perasaanku atau memang kenyataannya begitu. Aku melihat bayanganku di depan cermin, cocok sekali dengan jersey hitam putih ini, seperti aku memang terlahir untuk mengenakannya. Ditambah jaket hoodie berwarna merah dan topi rajutan hitam, aku merasa keren.
“Jadi, apa hukumannya?”
Aku mendekatinya dengan kening berkerut, berpikir. Semula, aku berniat memaksanya bergaya sebagai Barcelonistas, lengkap dengan topeng Lionel Messi. Dengan kostum itu, kita akan berjalan-jalan di sekitar Buckingham. Sekarang, rencana itu menguap. Sayang sekali, penampilannya yang sudah anggun tidak mungkin kukacaukan.
“Kamu akan tahu.” Ucapanku berbarengan dengan bunyi klakson. Taksi yang kupesan pastilah sudah sampai. “Kita berangkat sekarang.”
Riana bangkit. Air mukanya jauh berbeda dengan yang diperlihatkannya beberapa menit lalu. Tak pelak, dia resah menantikan hukuman yang akan kujatuhkan untuknya. Padahal aku sama sekali belum memikirkan sebuah hukuman. Bisa jadi aku melupakan soal hukuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...