Waktu berlalu demikian cepat. Dua bulan sudah aku tinggal di Birmingham. Satu bulan aku menjalani perkuliahan di semester pertama. Materi yang kudapatkan semakin menarik kendati semakin sulit. Beruntung, aku memiliki teman diskusi di luar kelas. Setya, pemuda asal Aceh itu ternyata juga kuliah jurusan biokimia di Univeritas Birmingham. Dia seniorku, satu tahun lebih awal.
Semenjak tidak sengaja berkenalan, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Setya. Justru pertemuan kedua kami terjadi di kampus, di laboratorium. Saat itulah, untuk pertama kalinya kami mengobrol cukup lama. Rasanya puas sekali bisa berbahasa Indonesia setelah sehari-hari lidah dipelintir menggunakan Bahasa Inggris. Saat itu pulalah aku tahu dia satu jurusan denganku. Maka, sejak saat itu, kami selalu berangkat ke kampus bersama. Sepuluh menit perjalanan naik bus menjadi tidak membosankan.
Tok. Tok. Tok.
Aku memasukkan satu lagi buku ke dalam ranselku yang segera kusandang. Setya tersenyum di balik pintu, mengucap salam seperti biasa. Aku membalasnya sambil mengunci pintu. Kami berjalan sampai ke halte bus sambil sesekali mengobrol.
“Selesai jam berapa?” Setya bertanya sebelum kami berpisah menuju kelas masing-masing.
“Jam empat,” aku menjawab singkat.
“Langsung ke toko roti?” dia masih berdiri dua langkah di depanku. Mata hitamnya menyorot padaku. Tatapannya teduh. Hanya menatap dua bola matanya saja, aku dapat meimbang kelembutan yang tertanam dalam jiwanya.
“Ke apartemen dulu.”
“Kamu duluan, aku selesai satu jam kemudian.” Setya berbalik setelah aku menjawab sekali lagi. Kami meniti lorong yang berbeda.
Toko roti yang dimaksud Setya adalah tempat kerjaku. Setya yang mengenalkanku pada pemilik toko roti langganannya itu, Tuan Kumar. Beliau imigran muslim dari India. Anak pertamanya, Nandini kenal dengan Setya, saking sering Setya datang ke toko roti itu. Sekarang Nandini kuliah di Birmingham, satu angkatan dan satu jurusan denganku.
Aku diterima bekerja paruh waktu sejak hari pertama melamar ke toko itu—dua minggu yang lalu. Istri Tuan Kumar yang gemuk hanya melihat sekilas aplikasiku. Wawancaranya bahkan malah membahas jilbab yang kukenakan. Pekerjaanku sederhana saja, memanggang. Dari jam tiga sore—bisa lebih, tergantung jadwal kuliah—hingga jam sepuluh malam terus berkutat dengan oven-oven. Panas dan gerah memang. Itu lebih merepotkan daripada tingkat kelelahannya. Tapi, aku menyukai pekerjan itu. Selain Tuan Kumar dan istrinya, karyawan yang bekerja di situ juga ramah-ramah. Yang paling penting, toko roti itu memiliki ruangan khusus untuk sholat.
“Riana!”
Aku menoleh. Nah, itu dia. Orang yang kupikirkan tengah berlari kecil menyusulku, Nandini. Bunyi ketukan sepatu hak tingginya menggema di lorong. Penampilan Nandini jauh berbeda dengan ibunya. Dia lebih terbuka, hobi mengenakan atasan super ketat, seperti yang dikenakannya sekarang. Atasan itu dia padukan dengan blazer berlengan panjang dan rok sejengkal di atas lutut. Rambut hitam alaminya dicat kemerahan dan dibuat bergelombang.
Aku berhenti melangkah, menunggunya. Tentu saja kami mulai akrab. Lucunya, kedekatan kami lebih disebabkan oleh Setya. Nandini ternyata menyukai Setya. Setelah mengetahui aku bertetangga dengannya, Nandini selalu menempelku, menyerangku dengan banyak pertanyaan. Aku lebih sering diam mendengarkan. Pada dasarnya, pertanyaan-pertanyan Nandini selalu mendetail kehidupan Setya yang aku tidak memiliki ide sama sekali. Siapa sangka, sudah di UK pun aku mengalami kondisi yang hampir sama. Dulu Adam, sekarang Setya.
Adam. Otakku langsung berhenti bekerja. Sekejap. Pengaruh nama itu masih saja hebat.“Kamu berangkat dengan Setya?” antusiasme menyala di matanya. Nandini tidak pernah lupa memadamkan semangatnya setiap membicarakan Setya.
Aku mengangguk, tersenyum dalam hati. Nandini memulainya. Dipastikan sepanjang hari ini dia akan terus menguntitku, membahas apa-apa mengenai Setya. Aku harus pandai-pandai mengalihkan topik ke materi kuliah karena aku tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan yang lainnya. Waktuku sudah habis untuk kuliah dan bekerja paruh waktu. Kesempatanku untuk belajar, ya dikampus. Kabar baiknya, Nandini cerdas dan dia enak diajak belajar bersama, seperti Setya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...