Tantangan adalah satu dari sekian banyak hal yang perlu ditaklukkan di dunia ini. Bukan untuk menunjukkan bahwa kita mampu. Hanya menguji, sejauh mana kita dapat menggapai. Kepuasan menjadi bonusnya. Kadang, bagi sebagian orang, kepuasanlah menjadi alasan utama dalam menaklukkan sebuah tantangan. Apa pun itu, selalu ada alasan untuk menaklukan sebuah tantangan.
Emirates, I'm coming!
Aku melingkarkan syal ke leherku sambil bersumpah bahwa hari ini akan luar biasa. Betapa tidak, ini adalah hari yang kutunggu sejak setahun lebih yang lalu. Hari yang dijanjikan Adam. Tidak lama lagi, Arsenal akan melakoni laga kandang pertamanya musim ini. Aku tidak dapat menentukan yang lebih istimewa dari tantangan yang diberikan Adam, antara mendapat kesempatan menonton Arsenal secara langsung di Stadion Emirates atau bertemu dengan Adam setelah sekian lama. Keduanya terhitung sangat istimewa.
Aku melenggang keluar dari apartemenku dengan semangat yang menggebu-gebu. Ini salah satu hari yang paling menyenangkan dalam hidupku. Apalagi setelah yang terjadi padaku belakangan. Tingkat menyenangkan untuk hari ini naik berkali lipat. Karena terlalu fokus pada perasaan senang, aku tidak memerhatikan langkah. Tidak sengaja kakiku menendang sesuatu. Kulihat itu merupakan susu kotak dengan kertas kecil. Aku memungutnya. Kubaca sekilas pesannya, lantas memasukkannya ke dalam ranselku. Ya, orang itu masih belum berhenti mengirimkan surat-suratnya. Dengan frekuensi yang lebih jarang tentu saja. Menolak berpikir lebih jauh soal pengirim susu kotak ini, aku melangkahkan kakiku.
"Hari yang menyenangkan, Ri?" Setya menegurku kala kami berpapasan di lorong.
"Sangat menyenangkan!" Aku memberikan senyum terbaik, membuat Setya perlu mengangkat kedua alisnya.
***
Hampir setiap pertandingan kandang Arsenal, sejak dua tahun terakhir, aku selalu melihatnya. Di balik layar kaca, stadion ini sudah terlihat megah. Ada impian yang kuletakkan di stadion ini, jauh sebelum Adam memberikan tantangan padaku. Aku selalu ingin menjadi bagian dari orang-orang yang berkaus merah, menyanyikan chants kebanggaan Gooners di tengah-tengah tribun, berteriak-teriak sampai suara serak. Sejak Adam mengutarakan tantangannya, setahun lebih yang lalu, membayangkan duduk di tribun Stadion Emirates menjadi lebih realistis.
Melihatnya secara langsung, tepat berdiri gagah di hadapanku, sungguh menghadirkan sensasi yang sama sekali berbeda. Aku seakan tidak pernah melihat stadion yang diresmikan pada Juli 2006 ini. Mataku dibuat tak berkedip. Logo Arsenal berukuran raksasa itu menawan mataku. Jika suasana lebih sepi, sudah pasti aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk sejenak berfoto dengan latar logo raksasa itu.
Aku baru mampu mengedipkan mata saat bahuku ditabrak secara tidak sengaja oleh seseorang. Sadarlah aku suasana di sekitarku sudah cukup ramai. Orang-orang bertebaran di mana-mana. Atribut merah melekat di badan mereka, mulai dari jersey, syal, hingga rambut palsu. Tak ketinggalan, bendera klub bertebaran di mana-mana.
Aku menyingkir dari keramaian. Kutempatkan diriku di lokasi yang lebih sepi. Aku mulai memerhatikan satu per satu orang-orang di sekitaran stadion, tepatnya orang-orang berambut coklat. Seharusnya, tidak sulit mengenali sosoknya diantara ribuan orang yang sudah berjubal. Jika pandanganku tidak keliru, aku belum menemukannya.
Belasan menit berlalu. Orang-orang semakin memenuhi area stadion ini. Puluhan atau ratusan orang berambut coklat tidak luput dari pandanganku. Adam tak kunjung kutemukan. Aku mulai resah, mulai berpikir yang tidak-tidak. Namun, aku mencoba bersabar. Masih sekitar dua jam lagi menuju kick off.
Waktu terasa bergerak lebih cepat. Puluhan menit berlalu bagai kedipan mata.Kebodohan itu baru kurasakan setelah suasana sekitar semakin dipadati oleh orang-orang yang siap menonton pertandingan. Padat sekali kerumunan di sekeliling stadion. Aku sulit mengenali satu per satu. Aku bahkan tak memiliki nomor ponsel Adam. Aku juga tak memiliki kontak Adam di semua aplikasi chatting. Bagaimana mungkin aku dapat menemukan satu orang di antara puluhan ribu? Tetapi, bagian dari diriku yang lain, meyakini bahwa sesulit apa pun, aku akan menemukan Adam. Sama seperti sebelum-sebelumnya, selalu mudah menemukan Adam di antara keramaian, seolah aku dan Adam memiliki sonar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...