Keping 7 Rasa yang Bermekaran

150 17 0
                                    

11.5.19

----------

Minggu-minggu berlalu. Dan aku benar-benar keliru soal satu hal.

Aku kehabisan akal mencari tahu sejak kapan mulainya. Entah kapan rindu mulai menyusupi malam-malam yang sunyi. Kadang bersembunyi di antara serat-serat selimut sehingga kendati selimut itu dililitkan ke seluruh tubuh, aku tetap menggigil. Pernah rindu itu menjadi gelombang longitudinal berfrekuensi audiosonik, dengan merdu bernyanyi untukku, membuatku susah tidur.

Aku juga bingung kenapa bayangan wajahku dalam cermin berubah menjadi wajah seorang laki-laki yang kukenal. Walaupun sedetik kemudian bayangan kembali normal, aku tetap heran. Semakin heran, tatkata aku kelelahan membaca, yang dilihat pada halaman berikutnya—dan lembar-lembar berikutnya—adalah wajah laki-laki yang sama. Dan saat mendapati diri tersenyum-senyum sendiri melihat ilusi-ilusi itu, aku ragu masih memiliki akal sehat.

Kenapa aku menjadi seaneh itu? Aku tak pernah tahu. Lama pertanyaan itu menjadi misteri. Aku bukan tidak mau mencari tahu. Sudah dilakukan berkali-kali, bahkan sampai memanjat hingga ke dahan pohon mangga paling tinggi—yang masih dapat menahan beratku—di depan rumah, lalu menyelam ke dalam sungai berair kecoklatan di belakang dusun bersama abang-abangku, hingga menggali lubang semut, aku tetap tidak menemukan jawaban.

Aku mengibarkan bendera putih dalam usaha pencarianku. Aku tak mau peduli lagi. Lagi pula, tak ada teman-teman yang meragukan kewarasanku. Sikap mereka kepadaku sama normalnya dengan sikap mereka sebelum rindu dan ilusi itu menggangguku.

“Ayo tuliskan, Riana!”

Aku terperanjat. Sadarlah aku tengah menancapkan pulpen di satu titik, tidak sama sekali membentuk angka nol seperti yang hendak kutuliskan.

Burhan baru saja menyerahkan selembar kertas kepadaku. Kertas itu adalah basis data teman-teman sekelas yang diisi secara manual. Aku mendapat giliran kedua puluh untuk mengisinya. Aku tercenung ketika melihat orang kesembilan belas: Adam Anderson. Tak ada badut, tak ada komik, aku mendadak tersenyum. Aku sampai linglung. Tak tahu bedanya menuliskan nomor ponsel dan membuat lubang di kertas itu.

“Aku hanya memintamu mengisi data yang cetek, Riana. Bukan mengerjakan soal fisika.” Burhan mengomel.

Aku mengabaikannya. Kugerakan pulpenku membentuk huruf-huruf yang kubutuhkan untuk melengkapi data itu.

“Maaf membuatmu menunggu lama,” aku nyengir, menyerahkan selembar kertas itu kepada Burhan selesai mengisi baris di bawah tulisan Adam.

Burhan meleos menuju meja berikutnya sambil geleng-geleng kepala.

Aku berkutat kembali dengan novel yang sedang kubaca sebelum Burhan menodongku dengan selembar kertas. Kejadian konyol yang baru saja kualami langsung dilupakan. Tak mau dibahas. Tak mau peduli. Aku lebih suka mempekerjakan otakku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan eksak daripada dua pertanyaan yang tak sanggup dicapai logikaku.

“Novel petualangan lagi.” Adam tiba-tiba muncul entah dari mana. Tangan jahilnya merebut novel dari tanganku, membalik-baliknya, lalu meletakkannya di atas meja. Ia lantas menempati kursi kosong di depanku. “Apa sih asyiknya membaca cerita-cerita karangan manusia?”

Aku memungut novel itu, mencari halaman yang terakhir kali kubuka. “Saat kamu tak menemukan yang kamu cari dalam kenyataan, terkadang cerita karanganlah yang memberikan semua yang kaubutuhkan. Ini tak sekadar cerita karangan, Dam. Novel ditulis berdasarkan pengalaman. Entah itu pengalaman penulis, atau orang lain. Imajinasi juga memainkan peranan penting, terutama untuk novel-novel fantasi. Kamu tentu tahu pengalaman dan imajinasi adalah dua hal penting. Membaca hasil kombinasi kedua hal itu, kamu pasti mendapat pelajaran. Sedikit atau banyak.”

Tomorrow Isn't A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang