Keping 24: Tidur Panjang

174 16 6
                                    

Tanpa sadar, aku menitikan air mata melihat kedaan Adam di depanku. Memang, wajahnya tidak menyiratkan kesakitan. Berlawanan dengan itu, dia terlihat tenteram, damai, seperti yang pernah kulihat saat dia tertidur. Namun, kali ini sungguh lain. Tidurnya lebih dalam dan ada alat-alat medis yang terhubung dengan tubuhnya, di antaranya masker oksigen dan selang yang menghubungkannya ke sebuah defribilator. Tak perlu berpikir keras membandingkan kondisinya denganku saat ini.

Terkadang, meski seseorang sudah berusaha maksimal membuat kehidupan terasa menyenangkan, yang dirasakan tidak lebih berarti dari sebuah kehampaan. Lama-lama penat. Bosan. Mulai membanding-bandingkan. Kehidupan orang lain menjadi demikian menggiurkan. Muncul prasangka bahwa kehidupan milik sendiri adalah yang terburuk. Keterpurukan seakan hanya dimiliki sendiri. Tidak pernah melihat ke bawah. Tidak mau belajar pada mereka yang berjuang jauh lebih keras.

Bersyukur itu sulit. Harus dihadapkan pada masalah yang berat. Setelah berhasil menyelesaikannya, barulah kata syukur itu terucap—jika ingat. Atau perlu diperlihatkan keadaan mereka yang jauh lebih buruk dari kehidupan sendiri, misalnya yang berkaitan dengan kesehatan. Tidak semua orang dapat menikmati kehidupan dengan fisik yang bugar. Bagi beberapa orang, sehat dan lepas dari rasa sakit adalah impian. Bahkan bagi beberapa lainnya, menghirup oksigen tidak lagi dapat dilakukan tanpa sadar—sebaliknya, menjadi sangat berat dan tidak bisa tanpa bantuan alat medis.

Adam koma. Begitulah yang dikatakan dokter yang menangani Adam berpuluh menit lalu. Aku tidak mendengarkan kalimat panjang dokter itu selanjutnya karena satu kalimat itu saja sudah menimbulkan ledakan di telingaku, membuatku tuli.

“Aku tahu kamu kuat, Dam,” aku berbisik.

Kesenyapan menjawabku. Kalau ada bunyi yang kudengar, itu hanyalah embusan napasku, serta denting defribilator yang menandakan dia masih bersamaku.

“Kamu selalu menjadi yang terbaik di sekolah dalam urusan olah raga. Pelari dan perenang tercepat, pendribel terbaik, pencetak gol terbanyak ... kamu selalu menang dalam urusan fisik.”

Aku menoleh. Bunyi defribilator masih menjadi musik pengiring di tengah kami. Terlihat angka ‘80’ berkedip di muka monitornya. Aku mengembalikan tatapanku pada Adam.

“Aneh sekali mendengar yang baru saja kukatakan.” Aku tersenyum, seolah di depanku Adam mengangguk setuju. “Ya, benar. Aku tidak akan mengatakannya jika ada kemungkinan kamu bisa mendengarnya. Atau kamu memang mendengarku, Dam?”

Sebelumnya, aku tidak pernah meneliti Adam sedetail ini. Menatap langsung ke wajahnya hanya untuk keperluan mengobrol. Malah sesekali, aku berbicara dengannya tanpa perlu repot-repot menyesuaikan arah pandangku. Sekarang, aku tanpa tahu malu memerhatikannya berlama-lama. Bukan, bukan untuk mengagumi ketampanannya—meskipun kuakui dalam keadaan begini, rupanya masih tampan. Aku hanya sedang mencoba menyelami alam bawah sadarnya. Apakah yang dia pikirkan saat ini? Apakah dia sedang bermimpi? Apakah suaraku dapat masuk ke alam bawah sadarnya, bergabung ke dalam mimpinya?

“Tapi, biarlah jika benar kamu mendengarku, Dam. Aku ingin kamu percaya pada dirimu bahwa kamu kuat. Kamu bisa mengalahkan penyakitmu, sebagaimana mengalahkan teman-teman dalam adu fisik.”

Dua tetes air jatuh melewati pipi sebelah kanan dan kiriku. Aku buru-buru mengusapnya, lantas memasang senyum lebar.

“Cepat bangun, Dam!” sekali lagi aku menatap matanya. Matanya yang tertutup. Aku sudah merindukan iris hijau zamrudnya. “Setelah ini, kamu tidak perlu menutupi apa pun lagi, Dam. Kamu harus tahu, tidak ada yang menganggapmu sebagai beban. Mereka melakukan semuanya untukmu dengan tulus. Aku harap, aku punya kesempatan untuk ikut menemanimu.” Aku bangkit, perlahan melangkah keluar. Pedih itu ikut bersamaku, bersemayam dalam relung kalbu.

Tomorrow Isn't A PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang