“Apakah kamu pernah menyukai seorang laki-laki?”
Pertanyaan semacam itu tidak sekali dialamatkan kepadaku. Kalau aku tidak salah menghitung, sudah sepuluh kali. Sarah yang terakhir kali mengajukan pertanyaan itu. Kemarin. Setelah aku berkali-kali menampik setiap ditanya hubunganku dengan Adam, Sarah mengganti pertanyaannya.
Pertanyaan itu tak begitu saja muncul. Sarah dan teman yang lain menanyakannya lantaran aku tak pernah sekali pun menyinggung rasa suka pada lawan jenis. Padahal teman-teman sibuk merumpikan ketua OSIS, kakak kelas, serta siapa pun yang tampan, terutama Adam—aku sering sekali mendengar nama itu disebut.
Sama dengan sebab munculnya pertanyaan itu, aku juga memiliki alasan. Aku merasa tak perlu mengoar-ngoarkan nama yang kusukai. Itu malah akan memicu masalah. Lagi pula, aku memang tidak sedang menaruh hati pada siapa pun—kecuali jatuh hati pada Mesut Özil masuk hitungan.
“Jangan-jangan kamu betulan naksir Adam!” Rini, perempuan yang pertanyaannya membuatku melamun, menuduh.
Adam? Di depanya, aku memang mati-matian tak mau mengakui ketampanan Adam. Namun, hal itu memang tidak dapat kupungkiri. Mataku masih sangat normal untuk menilai tampilan fisik seseorang. Semua perempuan di sekolah ini kurasa mengakuinya. Dan hampir semua siswi adalah penggemar satu-satunya siswa berwajah bule di sekolah. Ya, dia keturunan. Ayahnya dari UK. Itu membuatnya mewarisi ketampanan khas Eropa. Tubuhnya tingg, tidak kurang dari 180 senti. Tegap dan berotot, menunjukkan dirinya rajin berolah raga. Kulitnya putih bersih, paling bagus seantero sekolah. Rambutnya yang berwarna coklat keemasan lebih sering terlihat berantakan, tapi tidak sedikit pun mengurangi ketampanannya. Hidungnya, ya ampun! Itu bisa menjadi sebab dia terkena offside. Dan mata berwarna hijau zamrud itu tegas saat menatap.
Di samping itu, Adam orang yang asyik meskipun semenjak kami mulai akrab, Adam berubah dari teman mengobrol menjadi lawan berdebat. Rasanya, mendebatku menjadi rutinitas Adam. Jangan bicara soal sepak bola, itu hal yang Adam selalu kontra denganku. Dalam urursan sepele, seperti caraku menyapu saja, Adam kadang-kadang menyalahkan. Kadang membuatku berpikir Adam terlahir untuk mendebat orang lain. Di luar itu, selain dipuji karena ketampanan dan kepiawaiannya dalam bermain sepak bola, Adam disanjung karena otaknya. Dia siswa yang cerdas.
Tapi, menyukai Adam? Aku menggeleng. Adam anak yang menyebalkan!
“Sudah kubilang, satu-satunya laki-laki yang kusuka, ya Özil.”
“Aduh, siapa lagi itu?” Rini membelalak. Ekspresinya lebih memperlihatkan betapa dia menganggapku aneh alih-alih bingung. “Tokoh yang kamu baca dalam novel? Bintang film? Atau jangan-jangan—”
“Pemain bola,” Sarah memotong tidak sabaran.
Aku menyeringai, mengangkat ibu jariku untuk Sarah. Tepat sekali.
Rini menepuk jidatnya, ekspresinya semakin jelas. Riana benar-benar aneh, kira-kira seperti itulah yang coba dia katakan melalui air mukanya. Bagaimana tidak, perempuan seusiaku heboh menggandrungi artis-artis tampan Korea. Sementara, aku penggemar sepak bola.
“Memangnya, kamu sungguhan tidak pernah menyukai laki-laki? Maksudku, yang nyata. Ya, sekadar mengidolakan begitu?” Rini ngotot.
Aku menggeleng. Aku yakin begitu. Aku tidak menghiraukan soal hubungan dengan laki-laki. Bagiku, aku sudah cukup dengan memiliki teman-teman yang dapat memberiku kebahagiaan setiap hari. Aku tidak butuh orang lain—teman lawan jenis—untuk menemukan kebahagiaanku. Setidaknya, tidak untuk saat ini. Aku merasa cukup dengan yang telah kumiliki. Perasaan suka, kutambatkan itu pada teman-temanku, sahabat-sahabatku.
“Ah, tidak mungkin. Sarah, kamu berteman dengan Riana sejak kelas sepuluh, bukan? Pasti Riana pernah memberitahumu soal laki-laki yang disukainya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romance"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...