"Aku tidak ingat kapan terakhir kali meihatmu serapi ini," Wildan berhenti di depan tangga demi menilai tampilanku.
Aku mengangkat bahu. Tampilanku hari ini memang berbeda. Aku mengenakan kemeja panjang berwarna biru muda dilapisi tuksedo berwarna biru donker dengan celana bahan berwarna senada. Di bawah kerah bajuku ditempeli dasi kupu-kupu, juga berwarna senada dengan tuksedo. Sepatu pantofel mengilat membungkus kakiku. Yang sama dari gayaku biasanya adalah dua lapis kaus yang kukenakan dan topi rajutan berwarna hitam dari Catie.
"Ingat, kamu harus ada di rumah sebelum tengah malam!" Wildan meneriakiku. Dalam banyak urusan, dia benar-benar menjadi 'Mama'. Begitu pulalah yang Mama katakan kemarin malam di telepon.
"Aku akan pulang tiga hari kemudian, Wil," aku balas meneriaki Wildan sambil menutup pintu.
Di bawah siraman matahari sore penghujung musim gugur, mobil yang kutumpangi meluncur meninggalkan jalanan Archbishop's Place, hingga ke Jalan Lyham, terus ke Jalan Clapham, melewati jalan yang di kanan dan kirinya padang rumput luas, melalui perumahan demi perumahan penduduk, hingga sampailah di Logan Place, Kensington. Total hampir lima puluh menit yang kubutuhkan hingga sampai di depan rumah Mr. Alex.
Aku melangkah turun setelah memberikan sejumlah poundsterling kepada pengemudi taksi, menuju salah satu rumah yang terlihat berbeda dari rumah di kanan dan kirinya. Rumah itu dicat berwarna krem, sementara yang lain mempertahankankan warna coklat kemerahan dari bata penyusun rumah itu. Pintu rumah Mr. Alex sudah terbuka sebelum aku sempat mengetuk. Mr. Alex keluar, menyambutku dengan senyuman hangatnya. Disusul setelahnya, Catie muncul. Dia berjalan anggun menghampiriku dibuntuti Mr. Alex. Aku terpana sekian detik. Catie begitu memesona dengan gaun selutut berwarna merah yang dikenakannya. Rambut merah stoberinya dikepang di sisi. Sebuah tas kecil berwarna merah muda tersampir di bahunya. Alih-alih terlihat sebagai dewasa muda berusia 21 tahun, Catie lebih mirip remaja berusia belasan.
"Selamat sore, Mr. Alex." Aku menyapa Mr. Alex lebih dulu, menjabat tangannya.
Mr. Alex justru mendekapku sebentar. "Apa kabar, Adam?"
"Baik, Mr. Alex." Aku mengangguk yakin, lantas memalingkan perhatianku pada Catie. "You look amazing, Catie!" Aku menyerahkan buket mawar merah dan kotak kecil yang telah kupersiapkan sebagai hadiah. "Happy birthday."
"Thanks, Adam." Tersenyum, Catie menerima buket itu dan kotak kecil itu. "Boleh aku buka?" Catie menunjuk kotak kecil di tangannya.
Aku mengangguk, dan terus memerhatikan gesturnya tanpa dapat mengalihkan pandangan walau satu detik.
"Ini cantik sekali, Adam," decaknya, nada suaranya serasi dengan rona wajahnya.
Aku tersenyum. Dalam hati, berjanji akan mentraktir Yasmin yang telah memilihkan gelang itu. "Biar kubantu kenakan." Aku meminta gelang itu, kulingkarkan di lengan sebelah kirinya.
Catie memandangi tangan kirinya dengan senyum yang tidak kunjung padam. Dia beralih menatapku setelah cukup puas. "Kamu yakin kita akan pergi kereta bawah tanah?"
"Positif." Aku meyakinkan. Kubelokkan pandanganku pada Mr. Alex. "Mr. Alex, aku izin membawa putrimu jalan-jalan."
Mister Alex memegang bahuku, mengangguk. "Berhati-hatilah dan selamat bersenang-senang."
***
Kami turun di Stasiun Westminster. Ini kali pertama aku mendatangi tempat ini. Meskipun aku memiliki darah Inggris, aku memiliki alasan yang valid untuk tidak pernah menginjakkan kaki di kota ini sebelum vonis itu. Kendatipun sejarah keluarga membuat sebagian diriku masih membenci kota ini, aku tidak dapat memadamkan antusiasme yang mulai membara dalam dada. Tak sabar aku mengonfirmasi kemegahan salah satu bangunan yang merupakan situs warisan dunia UNESCO, yang lebih dikenal dengan House of Parliament.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Isn't A Promise
Romansa"Kamu bisa mengambil dua, tiga jam. Tapi, jangan meminta untuk waktuku di hari esok. Aku tidak akan pernah tahu yang terjadi. Mungkin aku tidak akan mencapai waktu yang kamu inginkan." - Adam --- Dia benci London, tapi keadaan memaksanya tinggal di...